Reporter: Dikky Setiawan | Editor: Dikky Setiawan
NEW YORK. Pesatnya kemajuan bisnis portal media dan situs berita online, akhirnya memakan korban. Sejumlah media cetak di Amerika Serikat (AS) megap-megap karena pasarnya tergerus oleh penetrasi media online.
Salah satunya adalah majalah mingguan Newsweek milik Washington Post Co. Rabu (5/5), perusahaan media yang bermarkas di Washington, AS, itu mengumumkan, Newsweek yang diterbitkannya terus merugi sejak 2007 hingga 2009.
Di tahun ini, Washington Post memprediksi, Newsweek juga masih akan merugi. Maklum, oplah majalah mingguan seperti Newsweek dan juga Time milik Time Warner Inc memang terus merosot. Kini, pembaca lebih memilih mencari berita di website yang lebih sering diperbarui. Tahun lalu, Newsweek memangkas sirkulasi dari 2,6 juta jadi 1,5 eksemplar.
Untuk menekan kerugian, Washington Post pun berencana menjual Newsweek. Untuk memuluskan rencananya tersebut, Washington Post telah menyewa Allen & Co sebagai penasihat keuangannya.
Pendapatan turun 27%
Sayangnya, belum ada kejelasan kapan dan berapa harga penjualan Newsweek ini. "Tidak ada tenggat waktu penjualan atau harga tertentu yang akan ditetapkan. Dan, kami tidak akan menjual aset bisni yang lainnya," kata Rima Caderon, Juru Bicara Washington Post.
Donald Graham, Chief Executive Officer Washington Post mengatakan, tidak ada strategi lain yang bisa dilakukan pihaknya selain menjual Newsweek. "Semua upaya penyelamatan telah dilakukan staf dan manajemen. Namun, kami masih akan menanggung rugi di tahun ini," kata Graham.
Graham menambahkan, di tengah ketatnya persaingan media di AS, pihaknya harus membuat keputusan yang menguntungkan kelompok usaha. "Newsweek adalah majalah dan website yang sangat penting. Tapi, dalam iklim seperti saat ini, mungkin lebih cocok dimiliki pihak lain," ujarnya.
Di tahun lalu, Newsweek melaporkan rugi usaha sebesar US$ 29,3 juta. Pendapatan yang merosot 27% menjadi US$ 184,2 juta adalah salah satu pemicunya. Maklum saja, pendapatan iklan Newsweek terjun bebas 30%.
Sejumlah pengamat media di AS menilai, Newsweek kolaps karena biaya operasionalnya terlalu besar. "Biaya penerbitan berita mingguan itu sangat mahal," kata Roland DeSilva, Managing Partner di DeSilva & Phillips, di New York.
Pendapat senada diungkapkan John Morton, Presiden Morton Research Inc di Maryland. "Bisnis majalah mingguan tidak memiliki masa depan yang cerah. Saat ini pembaca lebih suka mencari berita di internet," katanya.