Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Beberapa negara termiskin di dunia menghadapi krisis utang serius. Kondisi yang akan sangat mempersulit mereka bangkit dari resesi akibat pandemi Covid-19. Bank Dunia dalam laporan terbarunya memperingat krisis utang yang menjulang ini bisa membuat segala menjadi lebih buruk.
Lebih dari 70 negara berpenghasilan rendah menghadapi pembayaran utang tambahan hampir US $11 miliar tahun ini, naik 45% dari 2020 setelah terjadi kenaikan tajam dalam pinjaman tahun lalu.
Laporan Bank dunia menyebutkan hanya ada satu untaian masalah utang yang dihadapi negata berkembang yakni masalah utang tersembunyi atau tidak transparan. Jika deteksi risiko seperti kredit macet lambat atau salah dilakukan maka bisa memukul akses pembiayaan segmen rumah tangga berpenghasilan rendah dan usaha kecil.
Dalam laporan tahunan World Development itu, Bank Dunia biasanya fokus pada satu aspek spesifik dari pembangunan ekonomi global di negara-negara berpenghasilan menengah dan rendah.
Namun dalam laporan tahun 2022 bertajuk Keuangan untuk Pemulihan yang Adil itu, lebih fokus pada masalah utang.
Baca Juga: Jumlah Restrukturisasi Kredit Terus Turun, Diperkirakan Hanya 5% yang Masuk NPL
Selain tantangan peningkatan utang negara, Bank Dunia juag mencermati sistem pembiayaan yang tidak ada di negara berkembang yang membuat mereka lebih rentan pada kemunculan masalah lain, seperti kenaikan inflasi dan suku bunga.
"Inflasi dan suku bunga akan meningkat cepat karena kerampuhan sistem keuangannya. Kondisi keuangan global yang lebih ketat dan pasar utang domestik yang dangkal di negara berkembang akan menekan investasi swasta dan menghambat pemulihan," kata Presiden Bank Dunia David Malpass seperti dilaporkan DW.com, Jumat (18/2).
Perhatian khusus Bank Dunia terhadap masalah risiko utang yang tersembunyi karena tranparansi dinilai kurang dalam melaporkan kredit bermasalah dan management of distressed assets ditunda.
Bank Dunia menyoroti dana di banyak negara bahwa meskipun pendapatan bisnis mengalami penurunan karena pandemi namun rasio kredit bermasalah (NPL) tidak meningkat besar.
Laporan tersebut menilai, kebijakan relaksasi dan standar akuntansi yang longgar jadi penyebab rasio NPL terlihat terjaga. Namun, risikonya akan terlihat jelas ketika kebijakan kembali dinormalkan.
Menurut Bank Dunia, konsekuensi dari kebijakan membiarkan kredit macet tidak terdeteksi atau tidak dilaporkan akan sangat parah. Mengidentifikasi dan mengurangi porsi pinjaman dari NPL sangat penting agar pelaku industri keuangan bisa tetap memberikan kredit bagi debitur yang membutuhkan, terutama usah kecil dan rumah tangga berpenghasilan rendah.
Berdasarkan laporan itu, sebanyak 50% rumah tangga akan berjuang untuk mempertahankan tingkat konsumsi dasar lebih dari tiga bulan, sementara rata-rata bisnis mengatakan mereka hanya memiliki cadangan yang cukup untuk menutupi pengeluaran dua bulan.
Di negara-negara berkembang, hampir setengah dari bisnis yang disurvei mengatakan mereka memperkirakan akan menunggak selama pandemi.
Masalah lain, menurut laporan itu, adalah tanggapan yang tertunda terhadap penyelesaian pinjaman bermasalah. Itu mengarah pada apa yang disebut perusahaan zombie menerima dana yang pada akhirnya akan sia-sia ketika sistem resolusi utang yang lebih efektif dapat menghindari kebutuhan akan dukungan pemerintah.
"Tindakan yang tertunda dapat mengurangi akses ke kredit, mencegah kewirausahaan, dan mengubah utang swasta menjadi publik, karena pemerintah dipaksa melakukan dana talangan," kata Bank Dunia.
Baca Juga: Perbankan Siapkan Sejumlah Strategi Guna Menekan NPL Tahun 2022
Kemudian, yang membayangi seluruh pertanyaan utang di negara berkembang adalah jumlah utang negara, yang membengkak selama pandemi karena banyak pemerintah negara berpenghasilan menengah dan rendah beralih ke pasar modal internasional untuk meminta bantuan.
Ada kekhawatiran gagal bayar di beberapa negara, termasuk Sri Lanka dan Ghana. Menurut Bank Dunia, sekitar 60% dari semua negara berpenghasilan rendah perlu merestrukturisasi utang mereka atau berisiko perlu melakukannya.
"Tantangan terbesar adalah restrukturisasi utang negara. Tidak adanya proses yang dapat diprediksi, teratur, dan cepat untuk restrukturisasi utang negara itu mahal, mengurangi prospek pemulihan dan menciptakan ketidakpastian," kata Malpass dalam laporan itu.
Setelah memangkas pajak pada 2019 dan mengalami penguapan pendapatan turis, utang publik Srilangka kini meningkat 110% dari produk domestik bruto. Sebesar US$ 7 miliar utang dan bunganya akan jatuh tempo tahun ini.
Srilangka memiliki defisit anggaran yang besar dan pasar keuangan tidak akan meminjamkan lebih banyak. Ini adalah krisis solvabilitas, bukan hanya likuiditas, dan tidak ada cara untuk mengatasinya. Program penyesuaian IMF, disertai dengan restrukturisasi utang, adalah cara yang masuk akal ke depan. Semakin cepat pemerintah Sri Lanka menerima hal yang tak terhindarkan, semakin tidak menyakitkan itu.
IMF hadir untuk menangani situasi seperti itu. Setelah satu dekade dirusak oleh program bermasalahnya untuk Yunani dan Argentina, penjaga sistem keuangan internasional yang berbasis di Washington, IMF perlu menunjukkan bahwa lembaga ini masih merupakan tujuan alami bagi negara-negara seperti Sri Lanka dan Zambia.
Sementara Zambia pada prinsipnya telah menyetujui program dengan IMF, dan dihadiahi dengan rebound mata uang dan penurunan inflasi. Untuk menarik pinjaman, bagaimanapun, perlu membuat kemajuan pada restrukturisasi US$ 15 miliar dalam utang luar negeri.
Melakukan hal itu akan bergantung setidaknya sebagian pada China, yang selama dua dekade terakhir telah menjadi kreditur besar bagi negara-negara berkembang, melalui banyak bank negara. Beijing menolak saran apa pun bahwa pinjamannya menciptakan jebakan utang bagi negara-negara berkembang.