kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.060.000   18.000   0,88%
  • USD/IDR 16.445   2,00   0,01%
  • IDX 7.867   -18,52   -0,23%
  • KOMPAS100 1.102   -2,88   -0,26%
  • LQ45 800   1,11   0,14%
  • ISSI 269   -0,86   -0,32%
  • IDX30 415   0,50   0,12%
  • IDXHIDIV20 482   1,02   0,21%
  • IDX80 121   -0,09   -0,07%
  • IDXV30 132   -1,13   -0,85%
  • IDXQ30 134   0,17   0,13%

10 Aksi Demonstrasi Terbesar di Dunia, Apakah Indonesia Masuk Daftar?


Jumat, 05 September 2025 / 05:23 WIB
10 Aksi Demonstrasi Terbesar di Dunia, Apakah Indonesia Masuk Daftar?
ILUSTRASI. Beberapa protes terbesar dalam sejarah dunia telah berhasil mengubah kebijakan yang dianggap tidak adil, termasuk di Indonesia.


Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

4. Protes Anti-Perang Irak (2003) 

Pada 15 Februari 2003, jutaan orang turun ke jalan di lebih dari 600 kota menentang rencana Presiden AS George W. Bush menginvasi Irak. Sekitar 3 juta orang ikut serta dalam demonstrasi tersebut, termasuk di antaranya 750.000 orang di London, 1,5 juta di Madrid, 80.000 di Dublin, dan 100.000 orang di New York. 

Protes ini berawal dari seruan beberapa hari setelah pidato Bush di PBB pada September 2002, yang mengeklaim bahwa Irak melanggar resolusi PBB terkait senjata pemusnah massal. 

Sebagian besar protes berlangsung damai, dan pengaruhnya terhadap kebijakan sangat kecil. Bush diketahui tetap melanjutkan rencananya. Invasi Irak akhirnya dimulai pada 20 Maret 2003. 

5. Aksi Lapangan Tiananmen (1989) 

Pada 1989, protes besar terjadi di Lapangan Tiananmen, China, menuntut lebih banyak kebebasan dan reformasi politik. Gerakan ini dipimpin oleh mahasiswa, banyak di antaranya terinspirasi dari pengalaman mereka belajar di luar negeri. 

Aksi ini semakin meluas setelah pemakaman Hu Yaobang, seorang pejabat Komunis yang disingkirkan karena mendukung reformasi. Pada puncaknya, sekitar satu juta orang berkumpul di Lapangan Tiananmen, dengan demonstrasi yang menyebar ke sekitar 400 kota lainnya. 

Protes berlangsung selama enam minggu, dengan titik fokus di ibu kota. Pada akhir Mei 1989, pemerintah memberlakukan darurat militer. 

Sekitar 300.000 tentara dikerahkan ke lapangan, dan pada 3 Juni militer menyerang para demonstran. Jumlah korban tewas resmi diperkirakan sekitar 300 orang, meski beberapa laporan menyebut bisa mencapai 3.000.  

Setelah protes, Partai Komunis memperketat kontrolnya, dan beberapa tahun setelahnya, penyebutan tentang peristiwa ini masih disensor di China. 

Baca Juga: Koalisi Serikat Buruh Merah Putih Tanggapi Isu Sosial, Politik, dan Ekonomi

6. Jalan Baltik (1989) 

Pada 23 Agustus 1989, jutaan orang di Latvia, Lituania, dan Estonia membentuk rantai manusia sepanjang lebih dari 640 kilometer, yang dikenal sebagai Jalan Baltik. 

Mereka melakukan protes damai terhadap pemerintahan Komunis yang berkuasa di negara-negara tersebut, dan menjadi simbol penolakan rakyat Baltik terhadap kontrol Soviet. 

Rantai manusia itu juga memperingati 50 tahun Pakta Molotov-Ribbentrop, yang secara diam-diam membagi kendali Eropa Timur antara Rusia dan Jerman. 

Sekitar seperempat penduduk ketiga negara ikut serta, menjadikannya aksi protes terbesar dalam sejarah Uni Soviet. 

Dampak dari protes ini terasa hampir seketika, karena pakta masa perang tersebut dinyatakan tidak sah. 

Gelombang protes anti-komunis kemudian juga menyebar ke Eropa Timur. Beberapa bulan kemudian, Tembok Berlin runtuh, menandai perubahan besar di blok Timur. 

Dalam dua tahun setelah aksi Jalan Baltik, Latvia, Lituania, dan Estonia meraih kemerdekaan penuh. 

Baca Juga: 8 Negara Keluarkan Peringatan Perjalanan ke Indonesia Imbas Demo yang Meluas

7. Protes Rakyat (1986) 

Rakyat Filipina memprotes ketika Presiden Ferdinand Marcos, yang telah berkuasa selama 20 tahun, dipaksa turun oleh para pemimpin militer dan jutaan warga. 

Pada 7 Februari 1986, Marcos diumumkan sebagai pemenang pemilihan presiden yang kontroversial. Kemenangan itu dipertanyakan karena ia seharusnya kalah dari Corazon Aquino, janda dari lawan politiknya, Benigno Aquino yang tewas dibunuh. 

Gereja Katolik mengutuk hasil pemilu, sementara sebagian pejabat militer merencanakan kudeta. Marcos menangkap beberapa pemimpin militer, tetapi banyak tentara lainnya membelot. 

Kardinal Jaime Sin, Pendeta Katolik terkemuka juga menyerukan warga untuk memperbaiki hasil pemilu secara damai. Jutaan orang kemudian berkumpul di jalan EDSA di Metro Manila untuk mendukung militer yang membelot. 

Mereka melindungi tentara dari serangan dan menunjukkan dukungan dengan berkemah di jalan. 

Tank-tank terlihat mengepung ibu kota dan Marcos sendiri telah kehilangan dukungan militer. Sebagai bentuk dukungan, para biarawati memberikan bunga dan makanan kepada tentara. 

Akhirnya, Marcos melarikan diri, dan Corazon Aquino dilantik sebagai presiden pada 25 Februari 1986, menandai kembalinya demokrasi di Filipina. 




TERBARU

[X]
×