Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -HONGKONG. Realisasi rencana raksasa teknologi asal Cina, Alibaba untuk melantai di bursa Hong Kong semakin terang. Merujuk artikel yang dimuat Reuters, Jumat (8/11) upaya tersebut bakal terealisasi pada minggu terakhir bulan November 2019, menurut dua sumber Reuters.
Nah, Alibaba dikabarkan berniat untuk menggalang dana dari penawaran umum perdana alias initial public offering (IPO) senilai US$ 15 miliar. Aksi korporasi ini dinantikan oleh banyak investor lantaran menandakan kembalinya kepercayaan Hong Kong sebagai pusat keuangan di Asia.
Baca Juga: Hari jomblo 11.11 jadi ajang promosi brand global di pasar China
Penawaran publik oleh raksasa e-commerce ini bakal menjadi hal penting bagi masa depan Hong Kong lantaran citra kota tersebut telah dirusak oleh panjangnya protes anti-pemerintah yang dilakukan.
Selain itu, rencana IPO Alibaba juga terjadi pada saat hubungan antara Cina dan Amerika Serikat (AS) yang mulai cair, setelah sebelumnya sempat tegang akibat perang dagang yang menggoncang pasar keuangan global.
Adapun, book building atau pendaftaran Alibaba dijadwalkan berlangsung pada minggu terakhir bulan ini, tepatnya di 25 November 2019. Beberapa pihak menyebut, mulanya Alibaba akan lebih dulu meminta persetujuan dari Komite Pencatatan di Hong Kong (Hong Kong listing committee) pekan ini, tepatnya hari Kamis (14/11).
Meski begitu, juru bicara Alibaba menolak mengomentari perihal waktu penawaran saham. Transaksi tersebut akan menjadi daftar sekunder cross border terbesar di dunia, menurut data Dealogic.
Alibaba saat ini masih memegang mahkota untuk penawran umum perdana terbesar di dunia ketika pencatatannya di New York tahun 2014 silam senilai US$ 25 miliar.
Baca Juga: Alibaba mulai merambah konsumen di kota kecil
Meski begitu, pihak Alibaba sampai saat ini belum membeberkan rencana dari hasil pendanaan listing sekunder, dengan proyeksi penggalangan dana yang berkisar antara US$ 10 miliar hingga US$ 15 miliar.
Di sisi lain, perusahaan ini sebelumnya menyatakan bahwa rencananya ke depan adalah memperluas basis pelanggan Cina di luar pasar inti alias di kota-kota bsar. Dengan kata lain, Alibaba ingin masuk ke daerah-derah kurang berkembang untuk memerangi perlambatan pertumbuhan penjualan ritel.
Namun, Alibaba juga memiliki sedikit pesaing dari negeri asalnya seperti Pinduoduo yang telah lebih dulu masuk ke pasar di wilayah-wilayah kecil dengan diskon besar dan penawaran pembelian secara berkelompok.
Alibaba dan Aramco
Pencatatan di Hong Kong menandakan kembali aktifnya pasar ekuitas global. Apalagi setelah Pemerintah Arab Saudi telah menyatakan untuk menjual 2% saham dari raksasa minyak dalam negerinya Saudi Aramco yang diprediksi bakal memberikan dana segar bagi Aramco senilai US$ 30 miliar. Bila hal ini berjalan sesuai proyeksi, praktis hal ini bakal menggulingkan rekor IPO Alibaba.
Jika kedua kesepakatan ini berhasil, maka Alibaba dan Aramco dapat memberikan harapan baru bagi pasar modal yang hampir mati. Sebab, beberapa investor mulai skeptis terhadap valuasi perusahaan teknologi raksasa yang ditunggu-tunggu.
Baca Juga: Saudi Aramco menyebut risiko serangan teroris dan antimonopoli dalam prospektus IPO
Ambil contoh, saham Uber yang diproyeksi tinggi namun faktanya harga saham telah turun sektiar sepertiga sejak IPO berlangsung di bulan Mei 2019.
Sentimen negatif di sektor teknologi juga bertambah pasca WeWork, perusahaan rintisan (start up) berbagi ruang kantor dipaksa membatalkan rencana IPO dan memilih untuk mencari suntikan dana dari SoftBank Group. Hal ini terjadi lantaran valuasinya turun drastis dari US$ 47 miliar menjadi hanya US$ 8 miliar.
Menurut riset dari Refinitif sejauh ini perusahaan global baru menjual saham senilai US$ 429 miliar melalui IPO sepanjang tahun 2019. Angka tersebut jauh lebih rendah dari total angka di tahun 2018 lalu yang menembus US$ 604 miliar.