kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.740   20,00   0,13%
  • IDX 7.492   12,43   0,17%
  • KOMPAS100 1.159   4,94   0,43%
  • LQ45 920   6,72   0,74%
  • ISSI 226   -0,39   -0,17%
  • IDX30 475   4,06   0,86%
  • IDXHIDIV20 573   5,12   0,90%
  • IDX80 133   0,95   0,72%
  • IDXV30 141   1,37   0,98%
  • IDXQ30 158   1,02   0,65%

Amerika kembali ke tahun 1937?


Senin, 08 Agustus 2011 / 11:03 WIB
Amerika kembali ke tahun 1937?
ILUSTRASI. Jepang masih harus bergantung pada sikap AS sebagai aliansi utamanya dalam menyikapi perjanjian larangan nuklir PBB


Reporter: Rika, Reuters |

SINGAPURA. Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat Ben Bernanke sekali waktu pernah berjanji, The Fed takkan pernah mengulangi kesalahan pada tahun 1937. Ketika itu, bank sentral AS terlalu terburu-buru mengetatkan kebijakan moneternya sehingga ekonomi AS yang sedang jeblok makin terpuruk.

Bernanke memegang ucapannya. Ia menjaga bunga acuan nyaris nol persen sejak akhir 2008 dan mengerek neraca The Fed hingga tiga kali lipat lebih menjadi US$ 2,85 triliun. Ironisnya sekarang, pemangkasan belanja pemerintah AS yang sudah disetujui Presiden Obama dan parlemen AS, menghasilkan ketegangan pada ekonomi AS, nyaris sama dengan puluhan tahun lalu. Dan Bernanke, tak banyak yang bisa ia lakukan.
Mari bernostalgia dulu ke tahun 1937. Ini adalah tahun ketiga berturut-turut ekonomi AS tumbuh pesat setelah ekonomi AS bangkit dari era Depresi Besar di tahun 1929.

Tapi kemudian, bank sentral mengetatkan kebijakan dalam hal pinjaman, sementara pemerintah pun memangkas belanja sebesar 10%. Ekonomi mengerut lagi. Angka penggangguran melesat.

"Mengenai Depresi Besar, Anda benar, kami melakukannya. Kami sangat menyesal. Tapi, terima kasih, kami tidak akan melakukannya lagi," tutur Bernanke pada sebuah konferensi di tahun 2002 dalam rangka merayakan ulang tahun ke-90 ekonom legendaris AS, Milton Friedman.

Bernanke akan memimpin rapat kebijakan The Fed pada Selasa besok. Ia harus berhadapan dengan merebaknya kekhawatiran bahwa ekonomi AS mungkin terpeleset ke jurang resesi lagi, sementara Eropa terperangkap dalam krisis utanng yang semakin parah. Pemangkasan peringkat utang AS oleh Standard & Poor's Jumat pekan lalu juga menambah ketidakpastian masa depan ekonomi AS.

Yang pasti, pilihan Bernanke terbatas.

Nigel Gault, Kepala Ekonom Amerika di IHS Global Sight, mengatakan the Fed bisa saja memenuhi janjinya dan menjaga suku bunga di sekitar nol, atau neracanya tetap membengkak lebih lama dari yang diprediksi investor. Atau, the Fed bisa memborong lebih banyak lagi surat utang pemerintah AS.

"Tapi sulit untuk melihat satu pun dari pilihan itu yang akan mengubah keadaan," ujar Gault, "The Fed akan memilihnya bukan karena mereka yakin kebijakan itu bisa membuat keadaan jauh berbeda, tapi karena mereka memang perlu melakukan sesuatu." Gault menghitung ada 40% kemungkinan AS resesi lagi.

Kendati begitu, setidaknya angka tenaga kerja AS pekan lalu sedikit meredam ketakutan akan terjadinya resesi. Di bulan Juli, tercatat ekonomi membukukan 117.000 tenaga kerja. Angka ini jauh lebih tinggi dari revisi perkiraan bulan Juni yang hanya 46.0000. Angka pengangguran AS pun merosot 9,1%.

Terperosok ke lubang

Michael Ferolli, ekonom JPMorgan di New York mengatakan ia sebelumnya berharap Kongres akan menyetujui tambahan bantuan fiskal pada beberapa bulan ke depan, namun ternyata kisruh batas atas utang AS menunjukkan parlemen AS menentangnya. "Sekarang kelihatannya ekonomi akan terperosok ke lubang di awal tahun depan," ujarnya.

Tanpa bantuan di sisi fiskal, the Fed berada dalam tekanan besar untuk mencari alat yang bisa mengangkat pertumbuhan ekonomi. Dan sudah tentu, satu ronde tambahan quantitave easing bakal diprotes oleh negara-negara berkembang. Negara berkembang mengeluh bahwa mudahnya uang mengalir dari the Fed ke pasar AS, telah membanjiri ekonomi mereka sehingga mendorong inflasi.

Lihat saja nada yang tersirat dari ucapan Menlu China Yang Jiechi, pekan lalu. Yang menegaskan, Washington harus menjalankan kebijakan moneter yang bertanggung jawab. China patut khawatir, sebab apapun yang dilakukan Washington pasti mempengaruhi ekonomi dan keuangan raksasa Asia itu.

Saat ini, China mengantongi US$ 1,16 triliun surat utang pemerintah AS alias US Treasury. Kepemilikan ini hanya setingkat di bawah kepemilikan the Fed sendiri. Bagi China, situasi ini penuh dilema. Jika China menarik kepemilikannya dari US Treasury, dollar AS bakal semakin lemah. Jika ini terjadi, bukan tak mungkin bunga pinjaman AS bakal naik. Jika ini terjadi, China sendiri yang rugi sebab akan menggerus surat utang AS yang ia miliki.


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×