kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Apakah Google buat kita jadi lebih bodoh?


Senin, 17 September 2018 / 06:37 WIB
Apakah Google buat kita jadi lebih bodoh?
ILUSTRASI. Google


Sumber: DW.com | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - DW. Apakah Anda merasa kesulitan untuk menjawab pertanyaan pengetahuan umum yang mudah? DW bertanya kepada Dean Burnett, ahli syaraf dan penulis, apakah Google yang menjadi penyebabnya.

DW: Apakah Google telah membuat orang menjadi bodoh selama bertahun-tahun?

Dean Burnett: Tidak, saya tidak bisa melihat bagaimana ini bisa terjadi. Argumen utama yang saya lihat mendukung pendapat ini adalah kita biasanya mampu mengingat esai panjang atau puisi dan melafalkannya dengan mudah, karena inilah yang diajarkan di sekolah. Tetapi kemampuan untuk mengingat teks yang panjang bukanlah tanda kecerdasan, dan jika tidak mampu melakukannya tidak berarti Anda 'bodoh'. Intelegensi memiliki banyak faktor budaya dan genetik dan banyak waktu bermuara pada bagaimana Anda menggunakan informasi, bukan seberapa baik Anda mengingatnya. Google memberi kita lebih banyak informasi dari sebelumnya. Jadi ada argumen bahwa justru membuat kita lebih pintar, memberi kita lebih banyak informasi dan membuat otak kita bekerja untuk memprosesnya.

Bagaimana Google mempengaruhi rentang perhatian manusia?

Sulit untuk menjawabnya secara konkret, karena Google belum eksis cukup lama untuk 'mengembangkan' respons neurologis terhadapnya. Sehingga sistem perhatian kita, pada tingkat neurofisiologis, adalah sama. Tetapi tampaknya benar bahwa kini banyak orang tidak menghabiskan waktu lama dengan berfokus pada sesuatu seperti dulu. Otak manusia biasanya mengutamakan kebaruan daripada tingkat kedekatan ketika berhubungan dengan stimulasi dan kegiatan yang menyenangkan. Google memungkinkan Anda untuk mengakses hal-hal baru yang hampir tak terbatas dengan satu sentuhan tombol, sehingga orang jauh lebih tergoda daripada sebelumnya untuk mencari sesuatu yang lebih baik daripada berkonsentrasi pada apa yang di depan mereka. Secara teknis Anda dapat menerapkan ini ke banyak situs internet lainnya, seperti Facebook dan Twitter, bukan hanya Google.

Bagaimana otak manusia mengatasi gempuran informasi yang tersedia di Google ini?

Kebanyakan manusia tidak benar-benar menghargai betapa bagusnya otak kita dalam menyaring informasi dari rentetan yang kuat. Indra kita sendiri memberikan lebih banyak informasi ke otak daripada yang pernah kita harapkan untuk diproses setiap menit demi menit, dan otak telah mengembangkan banyak mekanisme untuk menyaring, memprioritaskan dan menangani semua ini. Hal yang sama dapat dikatakan tentang informasi Google. Tetapi itu sedikit berbeda karena itu lebih abstrak dan bersifat kognitif. Sayangnya, metode otak untuk mengatasi surplus informasi tidak selalu ideal. Konfirmasi misalnya, proses di mana kita memprioritaskan informasi yang mendukung apa yang sudah kita pikirkan/percayai dan abaikan apa pun yang tidak. Proses ini meresap dan bertahan dan jelas mendukung sebagian besar kesulitan dan polarisasi yang kita lihat secara online, khususnya di bidang politik.

Apakah manusia menjadi lebih bergantung pada Google dibanding otak mereka?

Saya bisa melihat bagaimana ini bisa menjadi masalah. Manusia mungkin akan cenderung akan langsung bertanya pada Google daripada mencoba menemuka jawabannya sendiri. Tapi jelas itu akan bervariasi dari orang ke orang. Namun, pemrosesan informasi seperti ini hanya sebagian kecil dari apa yang dilakukan otak kita, jadi sulit untuk melihat bagaimana Google dapat lebih diutamakan daripada otak dalam waktu dekat.

Bagaimana Google mengubah Anda?

Google telah merevolusi hidup saya dalam banyak cara. Saya seorang penulis sains dengan perputaran cepat, kemampuan untuk langsung memeriksa studi mana yang mengatakan apa atau apakah ada data yang dipublikasikan untuk mendukung teori saya sangat penting bagi saya dan apa yang saya lakukan, serta kemampuan untuk menemukan argumen balik dan sebagainya sebagainya. Saya sadar bahwa ini adalah posisi yang relatif tidak biasa.

Dean Burnett adalah seorang ahli syaraf, dosen, penulis dan komedian yang berbasis di Cardiff. Dia saat ini bekerja di Centre for Medical Education di Universitas Cardiff. Dia telah menulis buku "The Idiot Brain" dan "The Happy Brain."




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×