Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - SINGAPURA. Bank sentral Singapura (Monetary Authority of Singapore/MAS) mempertahankan pengaturan kebijakan moneternya pada Rabu (30/7/2025), mengabaikan sebagian ekspektasi pelonggaran, setelah pertumbuhan ekonomi kuartal kedua menunjukkan hasil mengejutkan dan ketegangan perdagangan global mulai mereda.
MAS menyatakan akan mempertahankan laju apresiasi saat ini dari koridor nilai tukar berbasis kebijakan, tanpa mengubah lebar dan titik tengah dari koridor tersebut.
Baca Juga: Singapura Masih Rajai Investasi Asing ke Indonesia pada Semester I-2025
Dalam survei Reuters terhadap 12 analis sebelum pengumuman, setengahnya memperkirakan kebijakan moneter akan dipertahankan, sementara sisanya memperkirakan akan ada pelonggaran.
“Risiko perlambatan tajam dalam pertumbuhan global dalam jangka pendek telah mereda, seiring dengan meredanya ketegangan dagang serta kondisi keuangan yang lebih stabil sejak April,” tulis MAS dalam pernyataan resminya.
MAS menambahkan bahwa mereka berada dalam posisi yang tepat untuk merespons risiko setelah sebelumnya melonggarkan kebijakan dua kali, yakni pada Januari dan April tahun ini.
AS dalam beberapa minggu terakhir telah mencapai kesepakatan dagang dengan sejumlah mitra, termasuk Eropa dan Jepang.
Berbeda dengan bank sentral lainnya, Singapura tidak menggunakan suku bunga sebagai instrumen utama.
Baca Juga: Tanpa Denda, Singapura Ajak Warga Buang Vape Lewat Program “Bin the Vape”
Sebagai gantinya, MAS mengatur kebijakan moneter dengan membiarkan dolar Singapura naik atau turun terhadap sekeranjang mata uang mitra dagang utama dalam koridor perdagangan tak diungkapkan, yang dikenal sebagai Singapore Dollar Nominal Effective Exchange Rate (S$NEER).
Penyesuaian dilakukan melalui tiga parameter: kemiringan (slope), titik tengah (mid-point), dan lebar (width) dari koridor tersebut.
Ekonom OCBC, Selena Ling, mengatakan bahwa MAS memilih untuk menahan diri dan menunggu hasil negosiasi tarif, mengingat adanya dua arah risiko terhadap inflasi.
“Dampak tarif terhadap ekspor China ke dunia bisa bersifat disinflasi, namun ketegangan geopolitik dan penyesuaian rantai pasok bisa mendorong inflasi. Jadi dampak bersihnya masih harus dinilai,” ujar Ling.
Ekonomi Singapura sendiri menunjukkan hasil yang lebih baik dari perkiraan, terutama karena pelaku ekspor mempercepat pengiriman untuk menghindari tarif AS.
Singapura pun berhasil menghindari resesi teknikal, dengan ekonomi tumbuh 1,4% secara kuartalan pada kuartal kedua, menurut data awal pemerintah.
Namun, otoritas memperingatkan bahwa pertumbuhan kemungkinan melambat pada paruh kedua 2025, seiring berakhirnya dorongan dari percepatan ekspor dan produksi.
Baca Juga: Ekonom Terbelah Soal Kebijakan Moneter Singapura Usai Pertumbuhan Mengejutkan
“Prospek ekonomi Singapura masih diliputi ketidakpastian yang signifikan, terutama pada 2026,” tulis MAS.
Pada April lalu, pemerintah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi tahunan dari 1,0%–3,0% menjadi 0,0%–2,0%.
Inflasi inti di Singapura juga terus melandai, dari puncaknya 5,5% pada awal 2023 menjadi 0,6% secara tahunan pada Juni 2025.
Ekonom Maybank Chua Hak Bin memperkirakan, pertumbuhan PDB 2025 akan berada di atas proyeksi resmi pemerintah.
“Kami memproyeksikan pertumbuhan PDB di angka 3,2%, dan berharap Kementerian Perdagangan akan merevisi naik proyeksi mereka pada Agustus saat data final kuartal kedua dirilis,” ujar Chua.