kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Belajar dari market crash AS 1987, tetap investasi dan jangan panik


Rabu, 07 Februari 2018 / 07:50 WIB
Belajar dari market crash AS 1987, tetap investasi dan jangan panik
ILUSTRASI. Gedung New York Stock Exchange


Sumber: CNBC | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

KONTAN.CO.ID - NEW YORK. Pelaku pasar saham Amerika Serikat (AS) terlihat panik pada transaksi perdagangan Senin (5/2). Alhasil, Wall Street langsung terkapar. Seluruh indeks acuan tergerus hingga 4% lebih. Terkait hal ini, kontributor CNBC William D. Cohan, mengimbau agar investor tidak panik dan tetap berinvestasi.

Dalam artikel yang tayang di CNBC, Cohan menulis, pelajaran terpenting yang bisa dipetik dari koreksi pasar selama tiga hari lalu - yang menyebabkan rata-rata indeks Dow Jones turun sekitar 2.100 poin pada satu titik pada Selasa dan hampir 9% dari harga tertinggi baru-baru ini - adalah untuk memahami bahwa koreksi itu sehat, normal dan bisa ditolerir.

Hal ini juga sudah berlalu. Apa yang tidak sehat atau normal, adalah sentimen yang muncul dalam 15 bulan terakhir di mana Donald Trump muncul selayaknya pesulap yang memimpin pasar saham yang sepertinya hanya menuju ke satu arah: lurus ke atas.

Para pakar menjelaskan banyak alasan mengapa pasar saham mulai goyang pada Jumat lalu. Di antara mereka banyak yang menuliskan alasan: akhir dari uang murah, karena tingkat suku bunga di seluruh dunia mulai meningkat; kenaikan inflasi karena pengangguran terus turun dan upah mulai meningkat; fakta bahwa manfaat pajak yang diharapkan telah menjadi isu hangat di pasar; atau ketakutan bahwa ada gelembung aset ke arah mana pun Anda melihat, apakah itu bitcoin, real estate high-end Manhattan atau seni rupa.

Ada banyak alasan logis yang bisa kita gunakan untuk menjelaskan aksi jual besara-besaran dalam tiga hari terakhir. "Bagi saya ini adalah Razor Occam: Sederhananya, ini hanyalah menggunungnya tekanan di pasar saham yang akhirnya dilepaskan," tulis Cohan.

Sejak Maret 2009, dua bulan setelah Obama menjabat setelah krisis keuangan terburuk dari generasi ke generasi, Dow naik empat kali lipat ke puncaknya di level 26.600 dari posisi tertinggi sebelumnya sekitar 6.500. Sembilan tahun pasar bull adalah waktu yang lama dengan ukuran historis apapun. Pada tahun pertama setelah pemilihan Trump, Dow naik 28,5%. Dan indeks terus meningkat sekitar 13% atau lebih tinggi dalam beberapa bulan terakhir, sampai mencapai titik tertinggi sepanjang masa pada 26 Januari lalu.

"Jadi, ya benar, selama sepuluh hari terakhir ini, pasar telah berada dalam mode koreksi. Indeks turun sekitar 8,5% dari posisi puncaknya pada akhir Januari. Tapi penting untuk menjaga penurunan tersebut dalam perspektif - dan jangan panik," jelasnya.

Melihat sejarahnya, bursa AS pernah mengalami keruntuhan tajam dalam satu hari sebesar 22,6%. Ini terjadi pada Black Monday 1987. "Kejadian tersebut adalah kepanikan yang nyata, seperti yang saya lihat pada diri saya, dengan orang-orang dewasa berkerumun di sekitar mesin Quotron mereka. Air mata mengalir di wajah saat mereka merenungkan hilangnya kekayaan yang mereka alami," cerita Cohan.

Dia menambahkan, "Tapi bahkan bencana finansial dalam satu hari itu ternyata hanya terjadi dalam kurun waktu singkat. Pilihan yang lebih baik hari itu adalah harus tetap berinvestasi di pasar saham - jangan panik dan jual. Hanya dibutuhkan sedikit upaya untuk mengeluarkan uap dari pasar yang terlalu panas."

Pesan terakhir, Coham mengutip kata-kata bijak dari Warren Buffett. "Pada akhirnya, entah Anda memiliki kepercayaan pada kecerdikan Amerika, pengetahuan dan kapitalisme, atau Anda tidak memilikinya. Jika Anda memilikinya, maka koreksi semacam ini pasti menghasilkan kesempatan untuk membeli. Itulah sebabnya Buffett adalah orang pertama yang masuk dan mengumumkan krisis keuangan tahun 2008 sebagai waktu paling tepat untuk diinvestasikan. (Dan dia benar). Dan jika Anda tidak percaya dengan American Dream, atau apa yang tersisa dari itu, saya mendengar bahwa Denmark adalah tempat tinggal yang sangat bagus," jelas Cohan.

Informasi saja, Cohan juga merupakan koresponden khusus Vanity Fair. Dia adalah mantan bankir yang memiliki pengalaman 17 tahun di perusahaan papan atas seperti Lazard Frères & Co., Merrill Lynch dan J.P. Morgan Chase. Cohan juga seorang penulis buku laris New York Times dari tiga buku non-fiksi tentang Wall Street.




TERBARU

[X]
×