Sumber: The Sun | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - PETALING JAYA: Malaysia masih melarang impor daging babi dan produk olahan daging babi dari beberapa negara menyusul merebaknya Demam Babi Afrika (ASF) pada tahun 2018.
Masalah ini kembali mencuat dan menjadi perbincangan di media sosial setelah AirAsia mengeluarkan pemberitahuan kepada penumpang bahwa mereka dapat didenda hingga RM 100.000 atau dipenjara hingga enam tahun, atau keduanya, jika melanggar larangan tersebut.
Penumpang yang membawa daging babi dan produk berbahan dasar babi ke Malaysia diharuskan membuangnya di tempat pembuangan yang telah ditentukan (tempat karantina).
Baca Juga: Larangan Sementara Impor Daging Babi di Malaysia Masih Berlaku
Juru bicara komunikasi korporat AirAsia mengatakan kepada TheSun bahwa pemerintah memberlakukan larangan sementara sejak September 2018 terhadap impor daging babi dan produk babi dari Tiongkok, Makau, Hong Kong, dan Vietnam setelah ASF terdeteksi di Tiongkok pada Agustus tahun tersebut.
Menurut Organisasi Kesehatan Hewan Dunia, ASF adalah penyakit virus yang sangat menular yang menyerang babi peliharaan dan babi hutan, dengan angka kematian yang bisa mencapai 100%.
Virus ini sangat resisten dan dapat bertahan hidup pada pakaian, roda, dan berbagai produk daging babi seperti ham, sosis, dan bacon.
Akibatnya, perilaku manusia dapat berkontribusi signifikan terhadap penyebaran penyakit ini lintas negara jika tindakan pencegahan tidak diterapkan dengan baik.
Baca Juga: Takut Terkontaminasi Inggris Larang Impor Rempah India
Sejak Agustus 2018, lebih dari 10 negara telah melaporkan kejadian ASF.
Pengacara Radin Amir Afifi Ahmad Aruani menjelaskan bahwa instruksi pemerintah tersebut awalnya dikeluarkan melalui Dinas Peternakan dan Bea Cukai.
"Langkah ini diambil sesuai dengan Undang-Undang Layanan Karantina dan Inspeksi Malaysia tahun 2011 (UU 728)," ujarnya.
Pembaruan dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) menunjukkan bahwa wabah ASF terdeteksi di Malaysia pada Oktober 2023.
Pada Mei 2024, FAO melaporkan bahwa wabah ASF pertama kali terkonfirmasi pada Februari 2021 di Sabah, dan di Semenanjung Malaysia pada Desember tahun yang sama.
Baca Juga: Korea Selatan Bakal Larang Makan Daging Anjing
Pada Juli 2023, ASF terdeteksi pada babi hutan di Perak, diikuti oleh wabah di peternakan babi di Perak dan Kedah pada Oktober tahun yang sama.
Radin Amir Afifi menekankan pentingnya melanjutkan larangan tersebut karena alasan kesehatan dan mengatakan bahwa tidak ada kebutuhan mendesak untuk mencabutnya, karena produksi lokal dapat memenuhi permintaan daging babi tanpa harus mengimpor.
Ia mengatakan bahwa pembatasan masuknya produk asing seperti daging babi adalah hal yang umum dan dapat diterapkan oleh negara mana pun.
"Misalnya, Selandia Baru memberlakukan pembatasan masuknya produk-produk tertentu dari luar negeri dengan pengawasan ketat di bandara untuk menjamin keselamatan dan kesehatan warganya serta pengunjung dari luar negeri."
Rathena Paneerchelvan, 26 tahun, mendukung larangan sementara terhadap produk berbahan dasar babi yang masuk ke Malaysia karena potensi bahaya kesehatan terkait ASF.
Baca Juga: Kuota Impor Daging Dipangkas, Berikut Tanggapan dari DPR
"Sampai virus ini diberantas, penting untuk mempertahankan larangan demi alasan keamanan. Kami tidak ingin mengalami lockdown lagi," katanya.
Robert Wong, 35 tahun, yang tidak mengetahui larangan tersebut, menyatakan kekhawatirannya atas apa yang dia anggap sebagai kurangnya pemberitahuan yang memadai.
Ia mengatakan bahwa pemberitahuan AirAsia tampaknya mengisyaratkan larangan total terhadap produk berbahan dasar daging babi, yang dapat disalahartikan sebagai pembatasan karena alasan agama.
Baca Juga: Belum Ada Realisasi, Bulog Masih Tunggu Persetujuan Impor Daging Kerbau
"AirAsia seharusnya memberikan penjelasan yang lebih jelas bahwa larangan tersebut bersifat sementara dan bertujuan untuk mencegah penyebaran ASF. Hal ini akan mencegah kesalahpahaman yang dapat merugikan citra Malaysia," ujarnya.