Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Dina Hutauruk
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Prospek ekonomi global tahun 2025 semakin berat di tengah tingginya ketidakpastian. Serangkaian tantangan baru siap menghadang di tahun depan padahal ekonomi belum sempat sepenuhnya pulih dari dampak pandemi Covid-19.
Tahun ini, sejumlah bank sentral di dunia memang mulai menurunkan suku bunga setelah berhasil mengendalikan inflasi tanpa memicu resesi global. Alhasil, pasar saham mencetak rekor tertinggi di Amerika Serikat dan Eropa.
Tapi, di balik kabar positif itu, masyarakat dunia tidak puas dengan kebijakan pemimpinnya. Akibatnya, para pemilih dalam tahun yang dipenuhi pemilu besar menghukum petahana atas krisis biaya hidup yang semakin mencekik akibat kenaikan harga yang berkepanjangan.
Kebijakan para pemimpin baru di berbagai belahan dunia masih diwarnai ketidakpastian. Ini membuat tahun 2025 akan jadi tahun yang berat bagi banyak orang. Jika pemerintahan Donald Trump memberlakukan tarif impor yang memicu perang dagang, hal itu bisa memicu inflasi baru, perlambatan ekonomi global, atau keduanya. Tingkat pengangguran, yang saat ini mendekati level terendah dalam sejarah, berpotensi meningkat.
Baca Juga: Petinggi Bank Sentral Jepang Sempat Berdebat soal Kenaikan Bunga
Konflik di Ukraina dan Timur Tengah, kebuntuan politik di Jerman dan Prancis, serta ketidakpastian terkait ekonomi China semakin menambah kerumitan situasi. Sementara itu, biaya kerusakan iklim mulai menjadi perhatian utama di banyak negara.
IMF telah menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi global jadi 3,2% pada 2025, dari 3,3% perkiraan pada bulan Juli. "Bersiaplah menghadapi masa-masa yang penuh ketidakpastian." tulis IMF dalam prospek ekonomi terbarunya dilansir Reuters, Senin (23/12).
Menurut Bank Dunia, negara-negara termiskin saat ini berada dalam kondisi ekonomi terburuk selama dua dekade terakhir, setelah gagal merasakan manfaat pemulihan pasca-pandemi Covid-19.
Sementara di negara maju, pemerintahnya harus mencari cara untuk menjaga keyakinan para pemilihnya di tengah daya beli, standar hidup, dan prospek masa depan yang terus menurun. Jika gagal, hal ini dapat memicu kebangkitan partai-partai ekstrimis yang menyebabkan parlemen terfragmentasi dan kebuntuan politik.
Presiden Bank Sentral Eropa, Christine Lagarde, mengatakan dalam konferensi pers setelah pertemuan terakhir ECB tahun ini bahwa tahun 2025 akan dipenuhi dengan ketidakpastian yang berlimpah.
Masih belum pasti apakah Trump akan benar-benar memberlakukan tarif 10-20% pada semua impor dan 60% untuk barang-barang dari China, atau itu hanya sekedar taktik negosiasi. Namun, jika tarif diberlakukan maka dampaknya akan besar.
Baca Juga: Menatap 2025, Perbankan Siapkan Strategi Jitu Hadapi Berbagai Tantangan Global
China menghadapi tekanan untuk memulai transisi ekonomi mendalam seiring dengan melemahnya dorongan pertumbuhan dalam beberapa tahun terakhir. Para ekonom menyarankan agar China mengurangi ketergantungan pada manufaktur dan meningkatkan pendapatan masyarakat berpenghasilan rendah.
Adapun negara Eropa harus mengatasi akar permasalahan ekonomi seperti kurangnya investasi dan kekurangan tenaga kerja terampil. Namun, sebelum itu, kebuntuan politik di Jerman dan Prancis harus diatasi.
Jika kebijakan Trump menyebabkan inflasi dan memperlambat penurunan suku bunga The Fed maka akan berpotensi memperkuat dollar. Hal ini akan membawa negatif bagi banyak negara lain, termasuk Indonesia. Investasi asing bisa beralih dari negara-negara ini dan meningkatkan biaya utang dalam dolar.
Terakhir, dampak yang sulit diprediksi dari konflik di Ukraina dan Timur Tengah. Ini dapat memengaruhi biaya energi global dan akan tetap menjadi faktor penting.