Sumber: Reuters | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JOHANNESBURG/WASHINGTON. Kelompok ekonomi terbesar dunia, G20, mencetak kemenangan langka bagi multilateralisme setelah berhasil mengeluarkan deklarasi bersama pada akhir pekan, meski menghadapi boikot dan penolakan dari Amerika Serikat, anggota terkuat dalam kelompok tersebut.
Sebagai ketua G20 tahun ini, Afrika Selatan berhasil menggalang dukungan 18 dari 20 anggota, kecuali Amerika Serikat dan Argentina, untuk mengesahkan deklarasi yang menepis keraguan atas masa depan forum tersebut, setidaknya untuk sementara waktu.
Awalnya, banyak pihak meragukan Pretoria mampu mendorong tercapainya deklarasi, apalagi membahas isu berat seperti pendanaan iklim dan beban utang negara-negara miskin. Namun keberhasilan itu dinilai memperkuat kembali G20 yang selama bertahun-tahun kesulitan mencapai kesepakatan bermakna.
Deklarasi Bahas Ketimpangan dan Krisis Iklim
Hasil KTT di Johannesburg mencakup kesepakatan mengenai isu-isu krusial yang kerap memecah G20, termasuk perubahan iklim, energi terbarukan, dan ketimpangan global.
Baca Juga: G20 Tegaskan Komitmen Lanjutkan Pembahasan Pajak Minimum Global Pilar 2
Deklarasi tersebut juga mengusulkan pembentukan panel global pertama yang menangani isu ketimpangan, langkah yang dipuji banyak pemangku kepentingan.
“Ini adalah pertemuan pertama para pemimpin dunia yang menempatkan darurat ketimpangan sebagai pusat agenda internasional,” kata Nabil Ahmed, Direktur Senior Ekonomi Ketidakadilan Oxfam.
AS Geram dan Pertanyakan Legitimasi Proses
Keberhasilan deklarasi justru memicu amarah Amerika Serikat, yang tahun depan akan menjadi tuan rumah G20.
Gedung Putih menuduh Afrika Selatan memanfaatkan posisi kepemimpinan untuk melemahkan prinsip konsensus G20. Pemerintahan Trump menyatakan akan “mengembalikan legitimasi” forum tersebut saat menjadi presiden G20 tahun depan.
Ketika ditanya apakah AS akan membatalkan undangan Afrika Selatan untuk menghadiri G20 2026, Gedung Putih tidak memberikan komentar.
Sumber delegasi Afrika Selatan menyebut paragraf terakhir deklarasi dirumuskan dengan hati-hati, berkomitmen untuk menghadiri KTT G20 berikutnya di Inggris dan Korea Selatan, namun hanya menyatakan kesiapan untuk “bekerja sama” di bawah kepemimpinan AS.
Presiden Cyril Ramaphosa bahkan menolak tawaran AS untuk melakukan serah terima kepemimpinan dengan diplomat junior. Upacara itu kini dijadwalkan dilakukan antar pejabat setara pada minggu ini.
Boikot Trump Justru Satukan Anggota G20
KTT sempat terancam gagal akibat boikot Presiden AS Donald Trump, yang mengangkat klaim tidak berdasar bahwa pemerintah Afrika Selatan yang mayoritas kulit hitam menindas minoritas kulit putih.
Baca Juga: KTT G20 di Afrika Selatan Mengadopsi Deklarasi Meski ada Boikot dari AS
Delegasi Afrika Selatan menyebut tercapainya kesepakatan pada Jumat malam menimbulkan “gelombang kelegaan” di antara para negosiator.
“Kabar tentang bubarnya G20 sangat dilebih-lebihkan,” kata Josh Lipsky, Ketua Ekonomi Internasional Atlantic Council dan mantan penasihat Presiden Barack Obama.
Para analis menyebut bahwa keputusan mayoritas anggota untuk tidak mengikuti kemauan Washington menandai perubahan pendekatan terhadap Trump.
“Para pemimpin sudah mulai jenuh,” ujar Michael Bociurkiw dari Atlantic Council.
“Ini bisa menjadi pendekatan baru menghadapi Donald Trump,” tambahnya.
Boikot AS dinilai justru mempersatukan negara-negara yang biasanya berbeda posisi: India dan Afrika Selatan yang berseberangan dengan Trump, serta Inggris dan Prancis yang tetap menjaga hubungan baik.
Kekhawatiran Akan Arah G20 di Bawah Kepemimpinan AS
Namun, sejumlah delegasi memperingatkan bahwa capaian Johannesburg dapat terhapus ketika AS memegang kendali G20 pada 2026.
Sumber yang mengetahui rencana Washington menyebut bahwa AS berencana:
-
mempersempit agenda G20 hanya pada KTT pemimpin dan forum keuangan,
-
menghapus pertemuan berbagai kelompok kerja dan menteri seperti energi, kesehatan, dan lingkungan,
-
mengecualikan organisasi-organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa dari penyelenggaraan.
Baca Juga: Era G20 Hampir Berakhir? Pemimpin Dunia Beri Alarm Krisis
Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia tetap diundang.
Namun beberapa analis menilai dampaknya mungkin terbatas karena masa kepemimpinan AS hanya satu tahun.
“Dalam skenario terburuk, negara-negara bisa menahan diri selama masa kepemimpinan AS lalu melanjutkan kembali agenda setelahnya,” kata seorang delegasi.
Meski Berbeda Tajam, Ada Titik Temu AS–Afrika Selatan
Di tengah perbedaan tajam, beberapa agenda prioritas kedua negara masih bersinggungan, mulai dari pembangunan, pertumbuhan ekonomi, hingga stabilitas keuangan.
“Saya rasa akan ada kesinambungan di sejumlah bidang ketika AS mengambil alih,” kata Eric LeCompte, penasihat PBB dan Direktur Eksekutif Jubilee USA Network.













