Sumber: Reuters | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - BEIJING. Sejumlah analis memprediksi, China akan melaporkan pertumbuhan ekonomi paling lambat dalam 28 tahun terakhir di tengah pelemahan permintaan domestik dan kenaikan tarif ekspor ke Amerika Serikat (AS).
Kondisi ini akan menambah tekanan terhadap Beijing untuk meluncurkan lebih banyak lagi stimulus untuk mencegah perlambatan pertumbuhan ekonomi yang lebih tajam.
Tanda-tanda pelemahan terhadap pertumbuhan ekonomi China yang menopang hampir seperti tiga pertumbuhan ekonomi global dalam satu dekade terakhir -memicu kekhawatiran akan berdapak pada pertumbuhan ekonomi dunia dan turut membebani laba perusahaan mulai dari Apple hingga produsen mobil besar.
Reuters memberikan kalau pemerintah China telah berjanji lebih banyak memberikan dukungan terhadap pertumbuhan ekonomi untuk mengurangi risiko semakin banyak warganya yang akan kehilangan pekerjaan. Namun mereka mengesampingkan "banjir" stimulus seperti yang telah dilakukan Beijing di masa lalu, yang dengan cepat mendorong pertumbuhan tapi meninggalkan hutang segunung.
Sejumlah analis yang disurvei Reuters memperkirakan ekonomi negara terbesar kedua di dunia ini telah tumbuh 6,4% pada Oktober-Desember dari tahun sebelumnya, melambat dari laju pertumbuhan 6,5% pada kuartal sebelummnya.
Kondisi ini bisa menarik pertumbuhan domestik bruto (PDB) 2018 menjadi 6,6%, terendah sejak 1990 dan turun dari revisi 6,8% pada 2017.
Sebagian besar analis memperkirakan kondisi ekonomi China kemungkinan akan memasuki kondisi terburuk dari sebelumnya, dan perlambatan ekonominya akan berlanjut menjadi 6,3% tahun ini. Bahkan sejumlah analis meyakini kalau tingkat pertumbuhan riil sudah jauh lebih lemah dari yang disarankan data resmi.
Bahkan jika pun China dan AS menyepakati tidak melanjutkan perang dagang, tidak akan dapat menjadi obat mujarab bagi pertumbuhan ekonomi China yang mulai tergagap, kecuali Beijing dapat memicu investasi yang melemah dan mendorong permintaan konsumen.
Chief China Economist at BNP Paribas Cheng Xingdong mengatakan, para investor sebaiknya tidak mengharapkan stimulus terbaru dapat memberikan hasil serupa ketika krisis global tahun 2008/2009, ketika paket pengeluaran besar Beijing dengan cepat mendorong pertumbuhan ekonomi.
"Apa yang benar-benar dilakukan Tiongkok tahun ini adalah mencegah deflasi, mencegah resesi dan hard landing dalam ekonomi," kata Chen.
Secara triwulan, pertumbuhan ekonomi China cenderung menurun menjadi 1,5% pada Oktober-Desember dari periode sebelunya 1,6%.
China akan merilis data PDB kuartal keempat dan 2018 pada Senin besok, bersama dengan output pabrik di bulan Desember, penjualan ritel dan investasi aset tetap (fixed-asset investment).
Karena pembacaan PDB triwulan Tiongkok cenderung stabil luar biasa, sebagian besar investor akan lebih fokus pada tren terkini.
Berdasarkan pernyataan sumber Reuters, Beijing berencana meningkatkan target pertumbuhan ekonominya tahun ini menjadi 6% - 6,5% atau setidaknya sama dengan pertumbuhan 6,5% tahun 2018.