Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Dina Hutauruk
KONTAN.CO.ID - BEIJING. Proyek Belt and Road Initiative (BRI) yang menjadi ambisi besar pemerintahan China di bawah Presiden Xi Jinping untuk menciptakan hubungan yang lebih baik melalui pinjaman infrastruktur global secara besar-besaran tampaknya berjalan semakin mulus.
Sepanjang tahun 2023, China telah menggelontorkan investasi hampir US$ 50 miliar untuk proyek di luar negeri yang menjadi bagian dari inisiatif tersebut. Angak tersebut merupakan yang terbesar digelontorkan China sejak 2018.
Inisiatif Belt and Road atau yang sebelumnya dikenal dengan istilah proyek one belt one road (OBOR) merupakan strategi pembangunan infrastruktur global yang diadopsi Beijing sejak tahun 2013 untuk berinvestasi di lebih dari 150 negara dan organisasi internasional. Investasi agresif Tiongkok di seluruh dunia itu diharapkan membantu memperluas perdagangan dan pengaruh internasionalnya.
Baca Juga: Informasi Diplomatik Rahasia Jepang Bocor Akibat Serangan Siber dari China Tahun 2020
Menurut laporan terbaru dari Griffith University di Australia dan Fudan University di Shanghai dilansir Bloomberg, Senin (5/2), total investasi yang digelontorkan China tahun lalu hampir 80% lebih tinggi dari investasi tahun 2022 sebesar US$ 67,8 miliar.
Sehingga terhitung sejak 2013, China telah meneken inisiatif infrastruktur lebih dari US$ 1 triliun dengan melibatkan 150 negara.
Laporan tersebut mengungkap bahwa investasi pada proyek-proyek teknologi tinggi, termasuk manufaktur kendaraan listrik, meningkat secara signifikan. Investasi di sektor baterai mencapai US$ 8 miliar, didorong oleh rencana pembangunan pabrik baterai di Korea Selatan dan pabrik mobil di negara-negara seperti Thailand, Vietnam, Brasil, dan Hongaria.
Laporan ini sekaligus mengonfirmasi data terbaru yang menunjukkan bahwa investasi China ke luar negeri tahun 2023 meningkat ke level tertinggi sejak 2016, di saat investasi dalam negeri mengalami perlambatan.
Baca Juga: AS Minta Papua Nugini Menjauh dari China
Peningkatan ini kemungkinan disebabkan karena sejumlah negara telah merestrukturisasi utang mereka dalam beberapa tahun terakhir, termasuk utang proyek infrastruktur yang didanai China.
Rata-rata nilai proyek bangunan yang diumumkan tahun lalu kurang dari US$ 400 juta, angka terendah kedua sejak BRI dimulai pada tahun 2013. Menurut laporan itu, kemungkinan besar penyebabnya karena adanya peralihan Tiongkok ke proyek-proyek yang kecil dan menjanjikan.