Penulis: Prihastomo Wahyu Widodo
KONTAN.CO.ID - Sejumlah informasi diplomatik rahasia Jepang bocoran akibat serangan siber yang datang dari China pada tahun 2020. Serangan menargetkan data milik Kementerian Luar Negeri Jepang.
Kepada Kyodo, seorang sumber pemerintahan mengatakan, Jepang mendeteksi serangan skala besar dan kebocoran saluran telegram diplomatik selama periode pemerintahan Perdana Menteri Shinzo Abe.
Telegram diplomatik dikirim melalui Jaringan Pribadi Virtual Protokol Internet terenkripsi, atau IP-VPN. Penggunaan jaringan semacam ini dinilai sangat penting dalam transfer data sensitif.
Kepala Sekretaris Kabinet Jepang, Yoshimasa Hayashi, dalam konferensi pers hari Senin (5/2) mengatakan bahwa Perdana Menteri Fumio Kishida belum mengonfirmasi bahwa informasi rahasia Kementerian Luar Negeri diakses melalui serangan siber.
Baca Juga: AS Minta Papua Nugini Menjauh dari China
Jepang dinilai cukup tertinggal dari egara-negara maju lainnya dalam pengembangan pertahanan keamanan siber. Situasi ini juga memicu kekhawatiran dari sekutu keamanan dekatnya, Amerika Serikat.
Jepang dan AS telah membahas tindakan balasan setelah bocornya telegram diplomatik yang berisi dokumen sangat rahasia yang dipertukarkan setiap hari antara kementerian dan misi diplomatik di luar negeri kedua negara.
Selain itu, Badan Eksplorasi Dirgantara Jepang (Japan Aerospace Exploration Agency) diduga menjadi fasilitas pemerintah yang sempat menjadi sasaran serangan tahun lalu, namun tidak ada informasi sensitif mengenai roket atau satelit yang diakses.
Baca Juga: China Sukses Kalahkan Jepang Jadi Eksportir Mobil Terbesar di Tahun 2023
Pada bulan Agustus 2023, Pusat Kesiapan Insiden dan Strategi Keamanan Siber Nasional Jepang mengatakan, mereka menemukan bahwa alamat email dan informasi lainnya mungkin bocor akibat akses eksternal yang tidak sah.
Dalam Strategi Keamanan Nasional terbarunya, Jepang berjanji akan segera memperkenalkan upaya pertahanan siber aktif. Jepang berupaya menghilangkan kemungkinan serangan siber serius yang dapat mengancam keamanan nasional dan infrastruktur penting.
Sayangnya, RUU untuk menerapkan pendekatan yang lebih aktif terhadap pertahanan siber belum diajukan ke parlemen.
Diskusi mengenai masalah itu terhenti di tengah adanya kekhawatiran bahwa langkah tersebut dapat melanggar jaminan Konstitusi negara mengenai kerahasiaan komunikasi.