kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.267.000   -15.000   -0,66%
  • USD/IDR 16.645   15,00   0,09%
  • IDX 8.112   19,54   0,24%
  • KOMPAS100 1.131   6,20   0,55%
  • LQ45 828   5,22   0,63%
  • ISSI 283   0,34   0,12%
  • IDX30 435   1,87   0,43%
  • IDXHIDIV20 503   4,65   0,93%
  • IDX80 127   0,94   0,75%
  • IDXV30 138   1,29   0,94%
  • IDXQ30 139   0,22   0,16%

Deloitte: Tarif Impor AS Berpotensi Naikkan Biaya dan Tunda Proyek Migas hingga 2026


Rabu, 29 Oktober 2025 / 11:54 WIB
Deloitte: Tarif Impor AS Berpotensi Naikkan Biaya dan Tunda Proyek Migas hingga 2026
ILUSTRASI. Laporan terbaru Deloitte mengungkapkan bahwa kebijakan tarif impor besar-besaran yang diberlakukan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump berpotensi meningkatkan biaya operasional, mengganggu rantai pasok, serta melemahkan momentum investasi di industri minyak dan gas (migas) pada tahun 2026. REUTERS/Eli Hartman


Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - Laporan terbaru Deloitte mengungkapkan bahwa kebijakan tarif impor besar-besaran yang diberlakukan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump berpotensi meningkatkan biaya operasional, mengganggu rantai pasok, serta melemahkan momentum investasi di industri minyak dan gas (migas) pada tahun 2026.

Menurut laporan dilansir Reuters Rabu (29/10/2025), industri energi sangat bergantung pada rantai pasok global. Berbagai komponen penting seperti drilling rigs, katup, kompresor, serta baja khusus sebagian besar masih bersumber dari luar negeri.

Baca Juga: Trump Beri Tarif Nol Persen untuk Produk Sawit, Karet, dan Kakao Malaysia

Pengenaan tarif impor terhadap komponen tersebut termasuk bahan utama seperti baja, aluminium, dan tembaga dapat meningkatkan biaya material dan jasa di sepanjang rantai nilai antara 4% hingga 40%, yang berpotensi menekan margin keuntungan sektor migas.

Deloitte mencatat, pemerintah AS saat ini memberlakukan tarif 10%–25% terhadap impor crude feedstocks yang tidak tercakup dalam perjanjian USMCA (United States-Mexico-Canada Agreement), serta tarif 50% terhadap baja, aluminium, dan tembaga.

Kebijakan ini dapat mengubah struktur biaya industri migas dan menambah ketidakpastian dalam pasokan bahan baku.

Inflasi dan ketidakpastian keuangan akibat tarif tersebut juga diperkirakan dapat menunda keputusan investasi akhir (Final Investment Decision/FID) dan proyek greenfield lepas pantai senilai lebih dari US$ 50 miliar hingga tahun 2026 atau lebih lama.

Baca Juga: China - ASEAN Teken Kesepakatan Perdagangan Bebas (ACFTA) 3.0, Lawan Dampak Tarif AS

Akibatnya, pelaku industri akan kesulitan menekan biaya produksi, yang pada akhirnya dapat memperlambat aktivitas investasi di sektor energi.

Deloitte memperkirakan, dengan kenaikan biaya input di seluruh rantai pasok, perusahaan migas akan meninjau ulang kontrak dengan menambahkan klausul escalation dan force majeure untuk membagi risiko serta membatasi paparan terhadap volatilitas harga.

Lebih lanjut, Deloitte menilai gangguan rantai pasok yang terus berlanjut dapat mendorong perusahaan untuk memprioritaskan ketahanan rantai pasok dibandingkan sumber termurah, termasuk dengan beralih ke pemasok domestik atau non-tarif, serta memanfaatkan foreign trade zones atau tariff reclassification guna mengelola beban tarif.

“Perubahan ini signifikan, mengingat hampir 40% kebutuhan pipa baja untuk industri migas AS pada 2024 masih dipenuhi dari impor,” tulis Deloitte dalam laporannya.

Selanjutnya: Purbaya Minta Dana Rp 200 Triliun di Perbankan Tak Disalurkan ke Konglomerat

Menarik Dibaca: Musim Hujan Tiba, Ketahui 5 Tips Ampuh Mencegah Ular Masuk Rumah


Video Terkait



TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Pre-IPO : Explained

[X]
×