Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
Julia Kueng, rekan Ronja di Juso, menyatakan bahwa pembakaran hutan dan tanah gambut di Indonesia merupakan cara termurah untuk membuka perkebunan kelapa sawit. "Saatnya untuk menghentikan semua ini,“ katanya.
Jelena Pilipovic mengungkap adanya persaingan tidak sehat antara petani gurem dan konglomerasi.
"Kalau minyak sawit masuk, maka produk lokal akan tersingkir karena kalah bersaing dalam harga jual,“ katanya.
Dia menyebut di Indonesia banyak petani yang tersingkir akibat perkebungan sawit yang besar. "Di Swiss, petani yang sudah makin berkurang jumlahnya, akan makin banyak yang tumbang akibat perjanjian ini nantinya,“ kata Jelena.
Nicolas Walder, anggota parlemen dari Partai Hijau juga meragukan sistem pengawasan sertifikasi produk kelapa sawit yang masuk Swiss. "Belum ada sistem pengawasan yang bisa dijamin efektif“ kata Nicolas.
Baca Juga: Begini tanggapan Sime Darby Malaysia terkait larangan impor minyak sawit di AS
Denis de la Reussille, pembicara yang lain, lebih menyoroti dampak sosial perkebunan kelapa sawit. "Kondisi sosial tenaga kerja di perkebunan sawit memprihatinkan. Gaji rendah, cuti hamil tidak terjamin, dan pekerja anak sering terjadi, termasuk di perkebunan yang bersertifikat,“ kata Denis yang menjadi anggota DPRD Neuchatel ini.
Menanggapi situasi ini, kepada Kompas.com, Duta Besar RI, Muliaman Hadad menyatakan bahwa referendum ini proses demokrasi dan urusan internal Swiss. Namun, KBRI Bern berkoordinasi dengan sejumlah instansi terkait di Indonesia dan Swiss telah memberikan informasi kepada media lokal mengenai perbaikan kondisi dan standar produksi kelapa sawit Indonesia.
Disampaikan bahwa Pemerintah Indonesia telah menerbitkan sejumlah kebijakan untuk meningkatkan kesejahteran para petani kecil kelapa sawit. Di antaranya tentang tidak adanya penambahan lahan baru, perlindungan satwa liar, serta perbaikan kondisi tenaga kerja serta penerapan standar produksi melalui Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).
Baca Juga: Jalan panjang melawan diskriminasi sawit di Uni Eropa
KBRI Bern juga telah meluncurkan sebuah blog khusus, yaitu www.indonesiainswiss.com untuk menangkal isu minyak sawit dan respons terhadap isu yang diangkat dalam refrendum IE CEPA yang akan diadakan di Swiss, Maret 2021. Blog ini berbahasa Inggris dan akan ditambah dalam versi bahasa Jerman, Perancis dan Italia.
Swiss dan Indonesia melakukan kerja sama dagang. Parlemen Swiss bahkan sudah menyetujui kesepakatan dagang itu. Namun, Uniterre mengumpulkan 50 ribuan tanda tangan untuk membawanya ke referendum.
Dalam kesepakatan dagang itu, Indonesia boleh mengekspor 10 ribu ton kelapa sawit ke Swiss per tahun. Jumlah yang tidak banyak untuk Indonesia. Referendum akan dilaksanakan 7 Maret mendatang.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kampanye Penolakan Kelapa Sawit Indonesia di Swiss Resmi Dimulai"
Penulis : Kontributor Internasional, Krisna Diantha Akassa
Editor : Ardi Priyatno Utomo