kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ekonomi AS Berpotensi Alami Resesi Double Dip


Rabu, 13 Juli 2022 / 19:26 WIB
Ekonomi AS Berpotensi Alami Resesi Double Dip
ILUSTRASI. Amerika Serikat (AS) tampaknya tidak akan bisa lagi terhindar dari resesi tahun ini.


Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Amerika Serikat (AS) tampaknya tidak akan bisa lagi terhindar dari resesi tahun ini. Data-data ekonomi negara itu yang dirilis dalam dua minggu terakhir menunjukkan potensi itu semakin nyata. 

Data yang diterbitkan Biro Analisis Ekonomi menunjukkan bahwa produk domestik bruto riil AS turun pada tingkat tahunan sebesar 1,6% pada kuartal pertama tahun ini. Dan data GDPNow yang diterbitkan oleh Fed Atlanta mematok tingkat pertumbuhan untuk kuartal II telah minus 1,9%. 

Banyak ekonom menganggap dua perempat pertumbuhan negatif sebagai resesi, namun keputusan resmi tentu akan ada pada Biro Riset Ekonomi Nasional.

Jika langkah-langkah kebijakan moneter ketat yang dijanjikan The Fed diterapkan pada paruh kedua tahun ini, Robert Heller mantan pejabat  Federal Reserve System melihat bahwa ekonomi akan melambat secara signifikan awal tahun depat terutama di sektor-sektor yang sensitif terhadap suku bunga.

Baca Juga: IMF Kembali Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi AS Tahun 2022 Menjadi 2,3%

"Akibatnya, resesi double-dip sangat mungkin terjadi. Resesi ringan pada paruh pertama 2022 mungkin akan diikuti oleh resesi yang lebih parah di awal 2023," katanya dikutip Barrons.com, Rabu (13/7).

Dengan demikian, lanjutnya, AS berpotensi mengalami pengulangan sejarah awal 1980-an  yakni  resesi double-dip. Penurunan awal terjadi selama tiga kuartal pertama tahun 1980, diikuti oleh penurunan kedua yang berlangsung dari kuartal ketiga tahun 1981 hingga kuartal keempat tahun 1982.

Menurutnya, itu akan menjadi kabar baik. Namun, berita buruknya adalah jika The Fed menyerah pada tekanan besar yang akan dihadapinya karena meningkatnya biaya pembayaran utang nasional kita yang membengkak dan tidak menaikkan suku bunga secara memadai untuk mengalahkan inflasi sekarang. 

"Itu akan membebani ekonomi untuk masa depan yang tidak terbatas dengan semua inefisiensi inflasi tinggi. Untungnya, Powell telah menjelaskan bahwa ini bukan pilihan," jelasnya.

Dia melihat bahwa kebijakan Federal Reserve masih sangat stimulatif. Tingkat Fed Funds Rate resmi sekarang dipatok pada 1,50-1,75%, tetapi indeks harga konsumen telah meningkat sebesar 8,6% sepanjang 2021, menghasilkan Fed Funds Rate yang disesuaikan dengan inflasi atau sekitar minus 7%. 

Obligasi treasury dengan tanggal yang lebih panjang hanya menawarkan tingkat pengembalian minus 5%. Jika kebijakan The Fed benar-benar membatasi, orang akan mengharapkan tingkat dana fed fund dan kurva imbal hasil Treasury berada di atas tingkat inflasi.

Pasar menilai dalam jalur agresif untuk kenaikan suku bunga Fed dalam beberapa bulan mendatang sementara juga menandakan ekspektasi bahwa bank sentral kemudian akan mengubah arah tahun depan dan mulai memangkas suku bunga.

"Kami telah melihat konsumen terjepit oleh biaya hidup yang lebih tinggi dan oleh kebijakan moneter, yang dapat menyebabkan resesi yang dipimpin konsumen," kata Erin Browne, manajer portofolio di Pimco dikutip Financial Times.

Baca Juga: Tertekan Inflasi, Konsumen di Sejumlah Negara Dilanda Pesimisme

Laporan ekonomi yang dirilis selama dua minggu terakhir telah meningkatkan rasa ketidakpastian. Survei utama pada sektor jasa dan manufaktur AS dari Institute for Supply Management menunjukkan perusahaan Amerika mengurangi perekrutan. 

Angka mingguan pada klaim pengangguran juga menunjukkan momentum yang melambat. Namun, laporan ketenagakerjaan bulanan pada hari Jumat menunjukkan perekrutan yang kuat, sementara inflasi pada bulan Mei mencapai level tertinggi sejak akhir 1981.

Laporan pekerjaan Juni juga mendukung ekspektasi bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 0,75% pada akhir Juli, yang akan membawa suku bunga acuan bank sentral ke kisaran 2,25%-2,5% dari 0 hingga 0,25% pada awal 2022. 

Kenaikan suku bunga telah mendorong biaya pinjaman AS, memicu penjualan yang kuat di pasar obligasi korporasi, memicu aksi jual terburuk di ekuitas Wall Street untuk paruh pertama tahun sejak 1970 dan membantu mengirim dolar melonjak terhadap rekan-rekannya.

Baca Juga: Tiga Indeks Utama Wall Street Kembali Melemah, Nasdaq Jatuh Paling Dalam

Andrew Hollenhorst, kepala ekonom AS di Citigroup, mencatat bahwa sementara laporan pekerjaan Juni yang kuat mendorong kuat pandangan mereka bahwa ekonomi AS berada dalam resesi atau akan segera terjadi.

"Fokus Fed memperlambat ekonomi untuk menjinakkan inflasi secara material meningkatkan risiko resesi pada tahun 2023. Pasar kerja yang sangat ketat dapat membuat jauh lebih sulit untuk mendapatkan soft landing," ujarnya. 




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×