Sumber: Channel News Asia | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - Keputusan ExxonMobil memangkas hingga 500 pekerjaan di Singapura mencerminkan tantangan yang lebih luas di industri migas akibat lemahnya permintaan dan meningkatnya pasokan, menurut analis.
Melansir laman Channelnewsasia Jumat (3/10/2025), raksasa energi asal Amerika Serikat itu pada Rabu (1/10) mengumumkan rencana mengurangi 10%–15% tenaga kerja di Singapura hingga akhir 2027.
ExxonMobil menyebut langkah ini perlu dilakukan untuk menjaga daya saing dalam lanskap industri yang terus berubah sekaligus mempersiapkan bisnis untuk masa depan.
Baca Juga: Chandra Daya Investasi (CDIA) Tegaskan Tidak Berencana Akuisisi ExxonMobil Indonesia
Pengumuman tersebut mengikuti restrukturisasi global yang dirilis sehari sebelumnya, di mana perusahaan berencana memangkas 2.000 pekerja di seluruh dunia atau sekitar 3%–4% dari total karyawan.
“Ini persoalan permintaan dan pasokan yang memukul perusahaan minyak dan gas internasional,” ujar konsultan energi Tilak Doshi.
“Harga minyak mentah turun, margin turun, pendapatan turun. Jadi bagaimana responsnya? Dengan melakukan efisiensi, termasuk pemangkasan tenaga kerja.”
Sejumlah perusahaan minyak AS lain seperti Chevron dan ConocoPhillips juga telah mengumumkan pemangkasan serupa tahun ini.
Harga minyak Brent turun sekitar 12% sepanjang tahun, dipicu oleh kenaikan pasokan dari OPEC+.
Baca Juga: ExxonMobil Mulai Operasikan Fasilitas Baru di Singapura
Menurut Leow Foon-Lee, mantan peneliti senior di Energy Studies Institute, sektor ini juga dibayangi pelemahan permintaan dan kelebihan kapasitas, terutama dengan berkembangnya kilang petrokimia di China.
“Singapura tidak imun dari tantangan ini, mengingat perannya sebagai pusat pengilangan regional,” jelasnya.
Selain faktor permintaan dan pasokan, perusahaan energi juga menghadapi ketidakpastian akibat tarif perdagangan serta dorongan restrukturisasi seiring meningkatnya penggunaan kecerdasan buatan dalam operasi.
Peralihan ke Energi Hijau
ExxonMobil bukan satu-satunya yang melakukan penyesuaian di Singapura. Tahun lalu, Shell menjual kilang Bukom salah satu pusat pengilangan dan perdagangan minyak terbesar di dunia kepada PT Chandra Asri dan Glencore.
Sebelumnya, Shell juga mengumumkan pemangkasan 500 pekerjaan dalam tiga tahun.
Baca Juga: CEO ExxonMobil Komit Investasi US$ 10 Miliar di Indonesia
Menurut Dr Roger Fouquet, peneliti utama di Energy Studies Institute, perubahan struktural ini dipicu transisi global menuju energi bersih, otomatisasi, dan regulasi yang lebih ketat.
Singapura sendiri menargetkan emisi nol bersih pada 2050 dan menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang menerapkan pajak karbon pada 2019. Tarif pajak karbon naik dari S$5 per ton menjadi S$25 per ton pada 2024, dan akan meningkat hingga S$80 pada 2030.
Namun analis menekankan, pemangkasan tenaga kerja ExxonMobil saat ini lebih terkait dinamika permintaan dan pasokan ketimbang kebijakan karbon.
Peran Baru Singapura
Meski menghadapi gejolak, peran Singapura sebagai hub petrokimia dinilai tidak berkurang, melainkan berevolusi.
“Rasionalisasi ini justru membuka jalan bagi pasar yang lebih tangguh dan berorientasi masa depan,” kata Timo Tumuscheit, Wakil Presiden Pengembangan Bisnis Kimia di Argus.
Baca Juga: ExxonMobil Optimistis Melampaui Target Produksi Minyak di Blok Cepu pada Tahun 2025
Ia menambahkan bahwa Singapura tengah naik kelas dengan berfokus pada produk kimia khusus (specialty chemicals) bernilai tinggi, serta membangun momentum pada biokimia, penangkapan karbon, dan bahan bakar rendah karbon.
Menurut Leow, meski kini Singapura menjadi hub gas alam cair (LNG) dan bahan bakar kapal, bauran energi akan terus bergeser ke sumber yang lebih bersih.
“Peran kita tidak berubah, hanya komposisi bahan bakarnya yang berubah,” ujarnya.
Tumuscheit menegaskan, “Singapura sebagai hub petrokimia akan selalu menjadi pemain utama, baik di regional maupun global.”