Reporter: Khomarul Hidayat | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - ISTANBUL. Prospek ekonomi Turki makin tak jelas. Dua lembaga pemeringkat internasional yakni S&P Global Ratings dan Moody's Investors Service, memangkas peringkat utang Turki beberapa tingkat ke level junk alias masuk peringkat "sampah", jauh di bawah level investment grade.
Kurs lira yang masih volatil dan defisit neraca transaksi berjalan yang melebar menjadi pertimbangan lembaga rating menggunting beberapa level peringkat Turki. Kurs lira yang merosot dan defisit neraca transaksi berjalan nan besar dapat merusak ekonomi Turki.
S&P memangkas peringkat mata uang asing Turki menjadi empat tingkat di bawah investment grade di B + dari BB-. Peringkat Turki setara dengan Argentina, Yunani, dan Fiji.
Sementara Moody's menurunkan peringkat utang Turkin menjadi Ba3 dari Ba2, tiga tingkat di bawah investment grade. Perusahaan-perusahaan pemeringkat itu menyebut mata uang yang lemah, inflasi yang melaju, dan defisit neraca transaksi berjalan saat ini menjadi kunci kerentanan ekonomi Turki.
"Melemahnya lira membuat tekanan pada sektor korporasi yang memiliki utang dan telah meningkatkan risiko pendanaan bagi bank-bank Turki," tulis S&P dalam sebuah pernyataan seperti dikutip Bloomberg. Meskipun ada risiko ekonomi tinggi, menurut S&P, respon kebijakan dari otoritas moneter dan fiskal Turki sejauh ini masih terbatas.
S&P terakhir kali menurunkan peringkat kredit Turki pada bulan Mei 2018. Kala itu S&P melihat ada risiko ekonomi Turki akan yang mendafat dengan keras, setelah tumbuh 7,4%,
Sedangkan penurunan peringkat oleh Moody's mengikuti pemotongan peringkat sebelumnya di bulan Maret 2018. Pertumbuhan ekonomi yang di atas rata-rata biasanya memperluas defisit transaksi berjalan, yang diperkirakan mencapai 6,4% dari produk domestik bruto( PDB) Turki pada akhir 2018.
Menurut Moody's, kondisi keuangan yang lebih ketat dan nilai tukar yang lebih lemah, membuat risiko pembiayaan eksternal meningkat. Ini juga akan memicu inflasi lebih lanjut dan melemahkan pertumbuhan ekonomi Turki serta meningkatkan risiko krisis neraca pembayaran.
S&P memperkirakan, ekonomi Turki akan masuk resesi pada tahun depan. "Inflasi akan mencapai puncaknya pada 22% selama empat bulan ke depan, sebelum mereda hingga di bawah 20% pada pertengahan 2019," tulis S&P.
Lira telah merosot hampir 40% terhadap dollar AS di tahun ini, memicu aksi jual di mata uang negara berkembang dan membebani saham global. Pengaruh Presiden Turki Tayyip Erdogan atas kebijakan moneter ikut andil menenggelamkan lira.