kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Gejolak politik, pelaku industri Uni Eropa pindahkan pabrik dari Asia ke Afrika


Kamis, 08 November 2018 / 20:12 WIB
Gejolak politik, pelaku industri Uni Eropa pindahkan pabrik dari Asia ke Afrika
ILUSTRASI. Bendera Uni Eropa


Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Perusahaan manufaktur asal Uni Eropa akan hengkang dari kawasan Asia. Hal ini respon krisis politik, pelanggaran hak asasi manusia, dan isu keamanan di Asia. Para pebisnis, berencana memindahkan pabrik ke benua Afrika.

Bulan lalu, Uni Eropa memberikan ultimatum kepada Kamboja untuk menarik akses bebas tarif ekspor produk garmen. Tindakan ini pasca aksi pelecehan dan intimidasi pada pemilihan Juli lalu. Selain itu, Uni Eropa juga menyampaikan hal yang sama kepada Myanmar karena tuduhan genosida. Reuters memberitakan Sri Lanka memiliki kemungkinan masuk kedalam daftar perhatian.

Jika Uni Eropa menindak lanjuti ancamanya, akan berdampak pada hampir dua juta buruh garmen yang sebagian besar perempuan. Di ketiga negara tersebut, Uni Eropa merupakan salah satu pasar ekspor terbesar untuk garmen. Ini menghasilkan pendapatan miliaran dolar setiap tahun.

Aktivis hak asasi manusia telah memuji langkah Uni Eropa ini. Pada saat yang sama, beberapa di asosiasi bisnis melihat langkag Uni Eropa sebagai tindakan yang kontraproduktif. Sedangkan analis meragukan akan ada perubahan besar dari kebijakan ini.

Pengamat Program Asia Tenggara di Pusat Studi Strategis dan Internasional di Washington, Murray Hiebert bilang bila kebijakan ini diterapkan maka China dapat melangkah maju untuk mengimbangi kerugian ekspor dari negara-negara yang terkena tarif Uni Eropa.

"Memberi tekanan pada pemerintah untuk menghormati hak asasi manusia sangat penting, tetapi menggunakan sanksi memberikan risiko yang menyebabkan Uni Eropa semakin terpinggir dari petak raksasa Asia," kata Hiebert seperti yang diberitakan Bloomberg, Rabu (7/11) malam.

Sri Lanka juga tiba-tiba berada di bawah pengawasan setelah Presiden secara tiba-tiba memecat perdana menteri. Hal ini memicu krisis politik yang belum terselesaikan. Sektor garmen di negara ini mempekerjakan sekitar 600.000 orang. Bisnis ini menyumbang sekitar sepertiga dari lapangan kerja manufaktur di Sri Lanka.




TERBARU

[X]
×