Sumber: Bloomberg, Reuters | Editor: Johana K.
Port-au Prince. Dunia internasional memang telah berkomitmen membantu Haiti. Tapi kenyataannya, korban gempa di Haiti masih bergelimpangan di jalan. Mereka menunggu datangnya bantuan kebutuhan dasar, seperti makanan, air, dan obat-obatan yang masih minim.
Sepekan pascagempa berkekuatan 7 skala Richter yang mengguncang Haiti Selasa (12/1) lalu, ratusan korban kelaparan terpaksa tidur di jalan. Mereka berteman puing-puing dan mayat yang sudah membusuk. Sebagian bantuan yang datang, belum mampu menembus jalan buntu untuk menjangkau lebih banyak korban.
Buruknya koordinasi menjadi kendala dalam penanganan korban gempa ini. Presiden Haiti Rene Preval yang terpaksa tinggal di markas polisi, berharap misi stabilisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) segera berfungsi kembali supaya dapat berkoordinasi untuk memulihkan negara. Soalnya, saat ini negara miskin yang sering dilanda bencana dan konflik politik ini nyaris tidak memiliki pemerintahan.
Selain koordinasi, bantuan kemanusiaan juga terhalang minimnya transportasi dan kurangnya bahan bakar minyak (BBM). "Kami harus menjamin bahan bakar cukup bagi truk yang mengangkut mayat. Rumah sakit sudah kewalahan," ujar Preval kepada Reuters, Sabtu (16/1).
Hambatan juga datang dari banyaknya reruntuhan dan kapasitas bandara yang tidak mencukupi. Belum lagi, munculnya penjarah bersenjata yang menebar ketakutan di seluruh kota. Komplotan ini muncul bersamaan dengan kedatangan tentara AS yang akan mulai mengalirkan berton-ton bantuan. Akibatnya, kerusuhan terjadi di beberapa wilayah yang menjadi tempat pembagian bantuan.
Menurut Paul Antoine Bien-Aime, Menteri Dalam Negeri salah satu negara di Kepulauan Karibia itu, sekitar 50.000 mayat sudah berhasil dikumpulkan. Dia memperkirakan total korban tewas 100.000-200.000 orang. "Meski kami tidak akan pernah tahu berapa jumlah sebenarnya," ujarnya.
PBB menilai, gempa Haiti merupakan bencana terburuk yang pernah mereka tangani. Bahkan, lebih buruk dari bencana tsunami di Aceh, Indonesia tahun 2004 lalu. Sebab, saat terjadi tsunami di Aceh, setidaknya masih ada kantor pemerintah yang berdiri.
Di kota Leogane, Haiti, gempa menghancurkan hingga 90% bangunan dan seperti membunuh kota itu. Paling tidak, tiga per empat ibu kota Port-Au Prince hancur. Sepertiga dari 9 juta penduduk Haiti menderita akibat gempa tersebut.