Reporter: Avanty Nurdiana | Editor: Avanty Nurdiana
KONTAN.CO.ID - NEW DELHI. Asosiasi maskapai penerbangan dunia alias International Air Transport Association (IATA) memperingatkan pertumbuhan industri penerbangan global menghadapi tantangan besar. Ini akibat meningkatnya hambatan perdagangan dan keterlambatan pengiriman pesawat yang dianggap sudah tidak bisa diterima.
Dalam pertemuan tahunan IATA di New Delhi, Direktur Jenderal IATA Willie Walsh dikutip Reuters menyatakan hambatan perdagangan dan isolasi ekonomi merusak perekonomian global serta membatasi pertumbuhan sektor penerbangan, terutama di tengah meningkatnya jumlah penumpang setelah pandemi.
“Terbang membuat dunia lebih makmur. Tapi hal ini berlawanan dengan kebijakan proteksionis dan perang dagang yang hanya menurunkan standar hidup,” ujar Walsh.
Baca Juga: Maskapai Melirik Potensi Bisnis Online Travel Agent
IATA menurunkan proyeksi keuntungan industri maskapai untuk tahun 2025 karena ketegangan perdagangan dan melemahnya kepercayaan konsumen. Misalnya, tarif impor besar-besaran yang diberlakukan oleh Presiden AS Donald Trump telah membuat banyak konsumen di Amerika menunda atau membatalkan rencana bepergian.
Selain itu, konflik perdagangan global juga mengancam perjanjian internasional yang sudah lama berlaku dan membebaskan bea impor atas pesawat serta suku cadangnya.
Meski harga pesawat belum naik akibat tarif ini, Walsh memperingatkan produsen pesawat agar tidak menaikkan harga secara sepihak. Ia juga meminta pemerintah untuk tidak melibatkan industri kedirgantaraan dalam konflik dagang.
Walsh mengatakan, keterlambatan pengiriman pesawat sebagai hambatan besar bagi maskapai. Menurut dia, jadwal pengiriman pesawat untuk tahun 2025 turun 26% dari yang dijanjikan tahun lalu. Meski angka 1.692 pesawat masih menjadi yang tertinggi sejak 2018, IATA memperkirakan penundaan ini akan berlanjut hingga akhir dekade.
"Prediksi soal keterlambatan pengiriman pesawat di dekade ini benar-benar di luar batas. Ini sangat tidak bisa diterima," kata Walsh. Ia juga menyebut industri maskapai sedang mempertimbangkan jalur hukum, meski lebih memilih menyelesaikan masalah ini dengan kerja sama.
Presiden maskapai Emirates, Tim Clark juga mengkritik keterlambatan tersebut dan mengatakan pandemi tidak lagi bisa dijadikan alasan. Hal senada disampaikan CEO maskapai hemat Saudi, flyadeal.
"Penundaan ini sudah tidak masuk akal. Tidak ada keterbukaan informasi, dan kami mulai frustrasi. Bagaimana kami bisa merencanakan bisnis kalau seperti ini?" kata Steven Greenway dari flyadeal.
Baca Juga: Qatar Airways Group Kantongi Laba US$ 2,15 Miliar, Rekor Tertinggi Sepanjang 28 Tahun
Walsh juga menyoroti lambatnya kemajuan dalam upaya lingkungan. Ia mengkritik perusahaan energi karena belum memproduksi cukup Sustainable Aviation Fuel (SAF), yaitu bahan bakar pesawat ramah lingkungan yang terbuat dari limbah minyak dan biomassa.
Menurut Walsh, meskipun SAF masih lebih mahal dari bahan bakar jet biasa, itu adalah kunci untuk mencapai target emisi nol karbon pada 2050.
Walaupun banyak tantangan, maskapai tetap ingin membeli pesawat baru untuk memenuhi permintaan penumpang di masa depan. Salah satunya adalah Air India milik Grup Tata yang sedang berdiskusi dengan Airbus dan Boeing untuk menambah sekitar 200 pesawat baru, di luar pembelian besar yang dilakukan pada 2023.