kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.360.000   29.000   1,24%
  • USD/IDR 16.616   9,00   0,05%
  • IDX 8.067   -160,68   -1,95%
  • KOMPAS100 1.104   -18,58   -1,66%
  • LQ45 772   -16,13   -2,05%
  • ISSI 289   -5,28   -1,79%
  • IDX30 403   -8,81   -2,14%
  • IDXHIDIV20 455   -7,63   -1,65%
  • IDX80 122   -2,25   -1,82%
  • IDXV30 131   -1,45   -1,10%
  • IDXQ30 127   -1,92   -1,49%

IMF Bandingkan Boom AI dengan Gelembung Internet 1990-an, Apa Bedanya?


Selasa, 14 Oktober 2025 / 20:38 WIB
IMF Bandingkan Boom AI dengan Gelembung Internet 1990-an, Apa Bedanya?
ILUSTRASI. International Monetary Fund (IMF) logo is seen outside the headquarters building in Washington, U.S., as IMF Managing Director Christine Lagarde meets with Argentine Treasury Minister Nicolas Dujovne September 4, 2018. REUTERS/Yuri Gripas/File Photo


Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto

​KONTAN.CO.ID – WASHINGTON. Dana Moneter Internasional (IMF) menilai lonjakan investasi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) di Amerika Serikat (AS) bisa saja berakhir seperti gelembung dot-com pada akhir 1990-an.

Namun, IMF menegaskan risiko krisis sistemik yang mengguncang ekonomi global seperti krisis keuangan 2008 relatif kecil.

Kepala Ekonom IMF Pierre-Olivier Gourinchas mengatakan, fenomena saat ini memiliki banyak kemiripan dengan gelembung internet di akhir 1990-an, di mana lonjakan valuasi saham dan kekayaan modal memicu konsumsi berlebih serta tekanan inflasi.

Baca Juga: IMF Optimistis Ekonomi Global Tumbuh 3,2% di 2025, tapi Trump Kembali Guncang Pasar

“Seperti saat itu, janji besar dari teknologi transformatif bisa jadi tidak sepenuhnya terpenuhi dalam jangka pendek, yang berpotensi memicu koreksi pasar,” ujar Gourinchas dalam wawancara dengan Reuters, Selasa (14/10/2025).

Namun, ia menegaskan perbedaannya terletak pada sumber pembiayaan investasi AI.

Tidak seperti gelembung properti 2008 yang sangat bertumpu pada utang, investasi AI saat ini didanai oleh perusahaan teknologi besar dengan kas melimpah.

“Ini tidak dibiayai oleh utang, sehingga kalau terjadi koreksi pasar, yang rugi adalah pemegang saham, bukan sistem keuangan secara keseluruhan,” jelasnya dalam rangkaian pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia di Washington.

Baca Juga: Google Investasikan Rp 248 Triliun untuk Bangun Pusat Data AI Terbesar di India

Investasi Besar, Keuntungan Belum Terwujud

Perusahaan teknologi saat ini menggelontorkan ratusan miliar dolar untuk pengembangan chip AI, pusat data, hingga infrastruktur komputasi dalam perlombaan meraih produktivitas dari teknologi baru ini.

Namun, menurut IMF, keuntungan ekonomi dari investasi besar itu belum tampak nyata, mirip dengan kondisi era dot-com ketika valuasi tinggi tidak diimbangi pendapatan riil.

Skala investasi AI saat ini juga masih lebih kecil. Berdasarkan data IMF, investasi terkait AI baru meningkat 0,4% dari PDB AS sejak 2022, dibandingkan peningkatan 1,2% PDB pada era dot-com antara 1995–2000.

Gourinchas memperingatkan, meskipun risiko terhadap stabilitas keuangan langsung terbatas, koreksi pasar AI bisa memicu perubahan sentimen dan toleransi risiko, yang berpotensi mengguncang lembaga keuangan non-bank.

“Tapi ini bukan hubungan langsung. Kami belum melihat adanya eksposur besar melalui jalur utang,” katanya.

Baca Juga: Laba Samsung Terbang 32%, Pasokan Chip Memori dan AI Jadi Penopang Utama

Dampak Inflasi Masih Terasa

IMF juga menyoroti dampak ledakan investasi AI terhadap inflasi. Dalam World Economic Outlook terbaru, lembaga tersebut menyebut lonjakan investasi teknologi bersama kondisi keuangan yang lebih longgar dan depresiasi dolar menjadi faktor yang menopang pertumbuhan ekonomi global.

Namun, Gourinchas mengingatkan, peningkatan investasi dan konsumsi akibat boom AI justru menambah tekanan permintaan dan inflasi, tanpa diimbangi kenaikan produktivitas yang nyata.

IMF kini memperkirakan inflasi konsumen AS turun menjadi 2,7% pada 2025 dan 2,4% pada 2026, lebih tinggi dari target 2% The Federal Reserve.

Selain itu, penurunan imigrasi AS yang menekan pasokan tenaga kerja serta efek tertunda dari tarif impor juga turut menjaga inflasi tetap tinggi.

Baca Juga: 10 Negara Paling Gemar Gunakan ChatGPT: Indonesia Salah Satunya

“Dampak tarif baru mulai terasa. Sejauh ini, bukti menunjukkan bahwa biaya tersebut sebagian besar diserap oleh importir di AS, bukan oleh eksportir,” jelas Gourinchas.

Ia menambahkan, meski Presiden Donald Trump mengklaim negara lainlah yang membayar harga kebijakan tarifnya, kenyataannya justru perusahaan AS yang menanggung beban tersebut.

Selanjutnya: IHSG Terseret Sentimen Negatif AS-China, Saham Grup Prajogo Pangestu Jadi Penekan

Menarik Dibaca: Pendaftaran Sunrise Society Ke Tiga Sudah Dibuka, Bank Saqu Take Over GBK




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Pre-IPO : Explained

[X]
×