Sumber: Bloomberg | Editor: Test Test
SINGAPURA. Risiko outlook ekonomi global 'meningkat signifikan' dan membuat ruang bagi pengambil kebijakan untuk menyediakan dukungan bagi pertumbuhan kian terbatas. Pernyataan itu terungkap dari Deputi Managing Direcor Lembaga Moneter Internasional atawa IMF Naoyuki Shinohara, di Singapura, Rabu (9/6).
Shinohara bilang, sebagian besar negara maju saat ini tengah mengalami perlambatan pertumbuhan. "Yang harus menjadi perhatian adalah makin menyempitnya ruang untuk melanjutkan dukungan kebijakan. Bahkan di beberapa kasus, pilihan kebijakan sudah mulai habis," jelasnya.
Shinohara mengacu pada pertemuan G-20 beberapa waktu lalu yang tidak berhasil mencapai kata kesepakat soal solusi mendongkrak pertumbuhan. Misal, Menteri Keuangan AS Timothy F. Gathner meminta Jepang dan negara-negara Eropa yang mengalami surplus perdagangan untuk terusmendorong pertumbuhan domestik agar pemulihan ekonomi berjalan.
Sementara, perwakilan dari Eropa menilai saat ini yang menajdi prioritas utama mereka adalah penghematan anggaran untuk memangkas defisit. Kalau defisit terus membengkak, risiko gagal bayar utang makin besar, negara ke bisa bangkrut, dan ujung-ujungnya krisis bakal lebih parah.
Namun, menurut Shinohara, meski pemulihan negara-negara maju tengah terhambat. Situasi ekonomi di Asia lebih baik dan negara-negara di kawasan ini masih akan menjadi pemimpin pemulihan ekonomi global.
"Tapi Asia juga punya tantangan sendiri. Yakni, meningkatnya arus modal yang berisiko memanaskan ekonomi kalau pengambil kebijakan gagal mengambil langkah yang tepat," imbuhnya.
Asia lebih punya ruang
Pemulihan ekonomi Asia, jelas dia, terlihat dari membaiknya kinerja perusahaan-perusahaan dari Nissan Motor Co hingga Taiwan Semiconductor Manufacturing Co. Membaiknya kinerja mereka terdorong permintaan ekspor dan domestik yang menguat.
Tak heran, beberapa bank sentral mulai mengambil kebijakan penarikan stimulus untuk menahan laju inflasi plus gelembung aset. Meski sebagian yang lain masih enggan karena khawatir atas kondisi krisis di Eropa.
"Dengan kebijakan makroekonomi yang mulai normal dan posisi fiskal yang kuat di sebagian besar negara Asia. Wilayah ini lebih memiliki ruang untuk respon yang lebih fleksibel kalau situasi memburuk," pungkas Shinohara.
Toh, beberapa negara Asia menilai tingginya utang publik dan ketidakstabilan aliran modal tetap menjadi ancaman bagi langkah pemulihan di kawasan.