Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia bisa berperan menjadi penengah antara Amerika Serikat dan China dalam konflik di Laut China Selatan. Hal itu diungkapkan Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran Profesor Ary Bainus.
Ary menambahkan, kedua negara sudah sama-sama menempatkan kekuatan militer di Laut China Selatan. Oleh karena itu, dia menekankan Indonesia pantas merasa sangat khawatir kalau ketegangan situasi di Laut China Selatan terus meningkat dan berpotensi menjadi perang terbuka.
"Indonesia mempunyai peluang dalam rangka memediasi permusuhan antara Amerika Serikat dengan China. Kita bisa mengambil peran di situ, terutama berkaitan dengan Laut China Selatan," kata Ary dalam diskusi bertajuk “Arah Kebijakan Presiden Amerika Joe Biden terhadap Indonesia dan Dunia,” Sabtu (30/1/2021).
Peluang tersebut, lanjut Ary, cukup besar, karena Indonesia bukan termasuk negara yang mengklaim wilayah di Laut China Selatan, seperti yang dilansir dari VOA Indonesia pada Minggu (31/1/2021). Namun, Ary mengingatkan dengan tetap menjalankan politik luar negeri bebas aktif.
Baca Juga: Duh! 6 Pesawat tempur China & pengintai AS sama-sama memasuki zona pertahanan Taiwan
Berkaitan dengan konflik di Laut China Selatan, menurut mantan diplomat Amerika, Stanley Harsha, Amerika Serikat tidak akan meminta Indonesia atau negara mana pun untuk memilih antara Amerika atau China. Stanley mengungkapkan kebijakan AS di bawah Biden dalam isu Laut China Selatan tidak akan berbeda dengan pemerintahan Presiden Donald Trump.
“Amerika akan sangat tegas, sangat tegas, mungkin tidak banyak berbeda dengan Trump," ujar Stanley.
Baca Juga: Militer China: Untuk menahan kami, mission impossible buat Amerika!
Menurut Stanley, untuk mencegah meluasnya pengaruh China di Asia Tenggara, Amerika akan meningkat investasinya di kawasan tersebut. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi berkali-kali mengingatkan kepada semua negara, termasuk Amerika Serikat dan China, untuk menahan diri buat menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan.
Konflik di Laut China Selatan dipicu oleh klaim atas pulau dan perairan oleh China, Brunei Darussalam, Taiwan, Malaysia, Filipina, dan Vietnam. Wilayah menjadi sengketa ini termasuk Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel.
Keenam negara pengklaim itu berkepentingan untuk menguasai hak untuk stok perikanan, eksplorasi dan ekploitasi terhadap cadangan minyak dan gas, serta mengontrol jalur pelayaran di Laut China Selatan.
Baca Juga: China: Kami memperingatkan, Kemerdekaan Taiwan berarti perang!
Nilai komoditas perdagangan melewati Laut China Selatan saban tahun sebesar US$ 3,37 triliun atau sepertiga dari total perdagangan maritim dunia. Sekitar 80% dari impor energi China dan 39,5% dari total perdagangan mereka melewati Laut China Selatan.
Sejak 2013, China mulai melakukan pembangunan di Kepulauan Spratly dan Paracel. Tindakan tersebut mengundang kecaman internasional. Mulai 2015, Amerika Serikat dan negara-negara lain, termasuk Perancis dan Inggris, melakukan apa yang disebut kebebasan operasi navigasi di Laut China Selatan.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Indonesia Disebut Bisa Jadi Penengah Ketegangan AS-China di Laut China Selatan"
Editor : Shintaloka Pradita Sicca