Sumber: Reuters | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di pinggiran salah satu kota berpenduduk 21 juta jiwa, sebuah showroom di pusat perbelanjaan menawarkan diskon luar biasa untuk mobil baru.
Pengunjung bisa memilih dari sekitar 5.000 unit kendaraan. Audi produksi lokal dijual dengan potongan 50%, sementara SUV tujuh penumpang buatan FAW dilepas sekitar US$22.300, lebih murah 60% dari harga resmi.
Diskon masif ini ditawarkan oleh perusahaan bernama Zcar, yang membeli mobil secara borongan dari pabrikan dan dealer. Fenomena ini terjadi karena Tiongkok kelebihan pasokan mobil akibat kebijakan pemerintah yang mendorong produksi besar-besaran.
Kebijakan Pemerintah dan Kelebihan Produksi
Selama bertahun-tahun, Beijing menggelontorkan subsidi dan insentif untuk menjadikan Tiongkok kekuatan otomotif global dan pemimpin kendaraan listrik (EV). Target itu tercapai, bahkan berlebih.
Baca Juga: Dulu Diremehkan, Pasar Saham China Rp 312 Kuadriliun Jadi Incaran Investor Asing Lagi
Menurut data Gasgoo Automotive Research Institute, kapasitas produksi pabrikan di Tiongkok mencapai dua kali lipat dari 27,5 juta unit yang dibuat pada 2024. Banyak pabrikan mengejar target produksi berbasis kebijakan, bukan permintaan pasar. Akibatnya, hampir semua produsen sulit mencetak keuntungan.
Dealer pun terkena dampaknya. Banyak yang merugi karena gudang penuh, sehingga terpaksa menjual dengan harga banting, bahkan memanipulasi penjualan dengan mendaftarkan mobil yang belum terjual agar terlihat laku di laporan.
Pasar Terseret ke Dalam Siklus Vicious Cycle
“Pasar ini saling memberi makan, saling memperkuat, dan bisa terjebak dalam siklus yang mematikan,” kata Yuhan Zhang, ekonom utama di The Conference Board’s China Center.
Kebijakan pemerintah yang mementingkan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi ketimbang profitabilitas menciptakan overcapacity di seluruh provinsi. Setiap pemerintah daerah berlomba menawarkan lahan murah dan subsidi untuk menarik pabrikan mobil.
Dampak Bagi Dealer dan Penjual
Hanya 30% dealer yang masih meraih untung, menurut survei Asosiasi Dealer Mobil Tiongkok (CADA) pada Agustus lalu. Banyak dealer menjual mobil hingga 20% di bawah harga pokok, sebuah kondisi yang disebut belum pernah terjadi sebelumnya.
Baca Juga: China Perketat Ekspor Rare Earth, Industri Eropa Terancam Rugi dan Tutup Pabrik
Beberapa dealer bahkan menjual mobil baru dengan status “bekas nol kilometer” agar memenuhi target penjualan bulanan dan meraih bonus dari pabrikan. Mobil-mobil ini lalu dijual melalui pasar abu-abu, diekspor ke luar negeri, atau dipasarkan lewat livestreaming di Douyin (TikTok versi Tiongkok).
Mobil Zombie di Kuburan Otomotif
Tak sedikit mobil baru yang gagal terjual berakhir di kuburan mobil terbengkalai.
Reuters menemukan ribuan unit mobil BYD, Honda, hingga Denza yang menumpuk di lapangan terbuka maupun gudang, sebagian dijual melalui lelang daring di platform Alibaba.
Mobil-mobil yang dibiarkan berdebu itu akhirnya dijual kembali dengan harga hanya seperempat dari harga asli, terkadang serendah US$9.000 per unit.
Implikasi Global
Fenomena ini tak hanya mengancam pasar domestik, tapi juga memicu kekhawatiran internasional.
Pangsa pasar merek asing di Tiongkok turun dari 62% pada 2020 menjadi hanya 31% pada 2025.
Baca Juga: Amerika Serikat dan China Sepakat Aplikasi TikTok Tetap Beroperasi di AS
Uni Eropa cemas banjir mobil murah Tiongkok bisa menghancurkan industri otomotif mereka, sementara Amerika Serikat hampir melarang total impor mobil Tiongkok karena alasan keamanan nasional dan persaingan tidak sehat.
Masa Depan Industri Otomotif Tiongkok
Konsultan AlixPartners memprediksi hanya 15 dari 129 merek EV dan hibrida di Tiongkok yang akan bertahan secara finansial pada 2030.
Konsolidasi besar-besaran tampak tak terelakkan, namun pemerintah lokal kemungkinan masih akan menopang pabrikan merugi demi mencegah PHK massal.
Sejumlah pemain besar seperti BYD dan Geely diperkirakan menjadi pemenang dalam guncangan industri ini. Namun bagi puluhan merek kecil, prospeknya suram.