Sumber: Reuters | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pesawat dan tank Israel kembali menggempur wilayah timur Kota Gaza pada Selasa dini hari, menewaskan sedikitnya 11 orang, menurut keterangan saksi mata dan tenaga medis.
Serangan ini terjadi menjelang kunjungan pimpinan Hamas, Khalil Al-Hayya, ke Kairo untuk membahas upaya menghidupkan kembali rencana gencatan senjata yang didukung Amerika Serikat.
Kebuntuan Perundingan Gencatan Senjata
Putaran terakhir perundingan tidak langsung di Qatar pada akhir Juli berakhir buntu. Israel dan Hamas saling menyalahkan atas tidak tercapainya kesepakatan proposal gencatan senjata selama 60 hari yang disertai pembebasan sandera.
Israel kemudian menyatakan akan melancarkan ofensif baru untuk menguasai kembali Gaza City — wilayah yang sempat direbut tak lama setelah perang meletus pada Oktober 2023, sebelum akhirnya ditinggalkan. Setelah penarikan pasukan, militan Hamas kembali mengonsolidasikan kekuatan dan melancarkan perang bergaya gerilya.
Baca Juga: Israel Tingkatkan Serangan di Kota Gaza, Enam Jurnalis Tewas
Belum jelas berapa lama operasi militer baru ini akan berlangsung atau bagaimana strateginya akan berbeda dari operasi sebelumnya.
Namun, rencana Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk memperluas kendali militer di Gaza pada Oktober mendatang memicu kecaman internasional, mengingat kerusakan masif wilayah tersebut dan krisis kelaparan yang mengancam lebih dari dua juta penduduk yang sebagian besar kini kehilangan tempat tinggal.
Kontroversi di Dalam dan Luar Israel
Rencana ofensif ini juga memicu kritik di dalam negeri. Kepala Staf Militer Israel memperingatkan bahwa langkah tersebut bisa membahayakan sandera yang masih hidup dan menjadi jebakan mematikan bagi tentara Israel.
Kekhawatiran serupa muncul di kalangan kemanusiaan, mengingat potensi gelombang pengungsian baru dan penderitaan bagi sekitar satu juta warga Palestina di kawasan Gaza City.
Serangan Terbaru: Korban di Gaza City, Khan Younis, dan Mawasi
Saksi mata dan tenaga medis melaporkan bahwa serangan udara dan artileri Israel menewaskan tujuh orang di dua rumah di distrik Zeitoun serta empat orang di sebuah apartemen di pusat Kota Gaza.
Di bagian selatan Gaza, serangan udara Israel di Khan Younis menewaskan lima orang, termasuk sepasang suami istri dan anak mereka. Sementara itu, empat orang lainnya tewas akibat serangan ke sebuah kamp tenda di wilayah pesisir Mawasi.
Militer Israel menyatakan sedang memeriksa laporan tersebut dan menegaskan bahwa pasukannya berupaya meminimalkan korban sipil. Israel juga mengklaim telah menewaskan puluhan militan di Gaza utara selama sebulan terakhir dan menghancurkan lebih banyak terowongan yang digunakan kelompok bersenjata.
Korban Jiwa akibat Kelaparan dan Malnutrisi Terus Bertambah
Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan bahwa lima orang, termasuk dua anak-anak, meninggal akibat kelaparan dan malnutrisi dalam 24 jam terakhir. Total korban tewas karena penyebab tersebut sejak awal perang kini mencapai 227 orang, termasuk 103 anak-anak. Israel membantah angka ini.
Perang dimulai pada 7 Oktober 2023, ketika militan Hamas menyerbu wilayah selatan Israel, menewaskan 1.200 orang dan menyandera 251 orang, menurut data Israel. Serangan itu dianggap sebagai kegagalan keamanan terburuk dalam sejarah negara tersebut.
Baca Juga: Profil Suleiman Al-Obeid, Sosok Pele Palestina yang Menjadi Korban Serangan Israel
Sejak itu, kampanye darat dan udara Israel telah menewaskan lebih dari 61.000 warga Palestina, menghancurkan sebagian besar Gaza, dan memicu krisis kemanusiaan dengan kekurangan pangan, air bersih, dan tempat tinggal yang aman.
Posisi Israel, Hamas, dan Upaya Mediasi
Netanyahu, didukung sekutu koalisi sayap kanan ultranasionalisnya, bersikeras bahwa perang tidak akan berakhir sebelum Hamas dihancurkan.
Seorang pejabat Palestina yang mengetahui jalannya perundingan mengatakan bahwa Hamas bersedia kembali ke meja negosiasi. Namun, perbedaan pandangan masih besar, terutama terkait sejauh mana Israel akan menarik pasukan dan tuntutan agar Hamas melucuti senjata — yang ditolak Hamas sebelum negara Palestina terbentuk.
Seorang diplomat Arab menyebut mediator Mesir dan Qatar belum menyerah menghidupkan kembali perundingan. Ia menambahkan bahwa pengumuman Israel tentang rencana ofensif di Gaza City mungkin bukan sekadar gertakan, melainkan strategi untuk mendorong Hamas kembali ke meja perundingan.