Sumber: Reuters | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Myanmar kembali menjadi sorotan dunia setelah militer negara tersebut mengumumkan perpanjangan status darurat selama enam bulan. Keputusan ini datang satu hari menjelang peringatan empat tahun dari kudeta yang menggulingkan pemerintah terpilih negara tersebut, yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi.
Kudeta ini telah menyebabkan ketidakstabilan besar, memicu perang saudara, dan mengubah Myanmar dari negara demokrasi yang rapuh menjadi rezim militer yang mengendalikan hampir seluruh aspek kehidupan negara.
Latar Belakang Kudeta dan Perang Saudara
Kudeta yang terjadi pada 1 Februari 2021 menggulingkan pemerintahan yang sah yang dipilih melalui pemilu demokratis, di mana Aung San Suu Kyi, pemimpin oposisi yang juga pemenang Nobel Perdamaian, kembali terpilih.
Militer Myanmar, yang dikenal dengan sebutan Tatmadaw, tidak menerima hasil pemilu yang menguntungkan partai politik yang dipimpin oleh Suu Kyi dan akhirnya menggelar aksi kekuasaan dengan menggulingkan pemerintahan yang sah.
Baca Juga: Lebih dari 2.500 Pengungsi Rohingya Tiba di Indonesia Sejak 2023
Setelah kudeta, Myanmar memasuki masa-masa sulit. Sejak saat itu, negara ini telah terjebak dalam perang saudara yang melibatkan kelompok-kelompok perlawanan yang sebagian besar terdiri dari kaum muda.
Rezim militer menghadapi berbagai pemberontakan bersenjata yang dilancarkan oleh sejumlah kelompok militan, yang menyebabkan kerusakan besar dan pengungsian massal.
Menurut laporan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), lebih dari tiga juta orang terpaksa mengungsi akibat konflik ini, dengan lebih dari sepertiga populasi Myanmar kini membutuhkan bantuan kemanusiaan mendesak.
Konflik yang berkepanjangan ini juga telah menyebabkan ketegangan sosial yang mempengaruhi seluruh lapisan masyarakat, dari daerah perkotaan hingga pedesaan.
Perpanjangan Status Darurat dan Rencana Pemilu
Militer Myanmar, melalui saluran media negara, mengumumkan bahwa mereka telah memperpanjang status darurat selama enam bulan, meskipun negara masih dilanda ketidakstabilan yang luar biasa.
Militer menyatakan bahwa alasan di balik perpanjangan tersebut adalah untuk memastikan bahwa pemilihan umum dapat berlangsung dengan aman, adil, dan transparan. Namun, banyak pihak yang skeptis terhadap rencana pemilu ini, mengingat situasi di lapangan yang penuh dengan kekerasan, ketidakpastian, dan ketidakstabilan.
Baca Juga: Masyarakat Lokal Semakin Khawatir, Malaysia Tolak Ratusan Pengungsi Rohingnya
"Masih banyak tugas yang harus diselesaikan untuk memastikan bahwa pemilu dapat berlangsung dengan sukses. Terutama untuk memastikan pemilu yang bebas dan adil, stabilitas dan perdamaian masih sangat dibutuhkan," ujar media pemerintah MRTV dalam pengumumannya.
Meskipun militer menyatakan komitmennya untuk melaksanakan pemilu, banyak pihak, termasuk sejumlah kelompok oposisi, menilai bahwa rencana ini hanya akan menjadi sekadar upaya untuk mempertahankan kekuasaan oleh junta militer melalui proksi politik yang dapat dikendalikan.
Para kritikus menganggap bahwa pemilu ini tidak akan pernah mencerminkan kehendak rakyat Myanmar, karena di bawah kendali junta militer, negara tersebut tidak dapat menjalankan pemilu yang benar-benar bebas dari campur tangan kekuasaan.