Reporter: Dessy Rosalina | Editor: Dessy Rosalina
Pengaruh kelompok Negara Irak dan Syria (ISIS) terus membesar. Terakhir, kelompok teroris ini berhasil menguasai kota Mosul, Suriah. Tidak cuma pemimpin politik yang ketar-ketir. Perusahaan multinasional yang bercokol di Timur Tengah pun deg-degan.
Gerakan ISIS mulai mempengaruhi wajah bisnis korporasi kakap yang mencari untung di Timur Tengah. Contoh, tiga perusahaan yang menambang minyak di Irak. Yakni, Genel Energy, DNO dan Gulf Keystone. Valuasi pasar tiga perusahaan pengebor minyak ini susut 29% menjadi US$ 8,3 miliar, sejak awal tahun ini. “Saat ini, bisnis telah bergeser dari tempat yang agak rumit dari segi keamanan, ke situasi penuh perang," ujar salah satu petinggi perusahaan minyak di Irak seperti dikutip The Economist.
Perusahaan multinasional di Irak, Suriah dan sekitarnya, merogoh kocek lebih dalam untuk meredam ISIS. Hitungan analis, ongkos operasional perusahaan mendaki menjadi 15% terhadap total pendapatan, dari sebelumnya 12,5%. Kenaikan beban operasional ini dipicu oleh biaya perusahaan untuk menyewa lebih banyak tenaga keamanan.
Kendati dibayangi aksi teror ISIS, sebagian besar pebisnis di Irak justru optimistis menghadapi masa depan. Seluruh perusahaan minyak multinasional di Irak masih mengebor dan mendistribusikan minyak lewat wilayah Turki. Malahan, sejumlah perusahaan menunjukkan performa kinclong. Tengok saja Lafarge, konglomerasi semen asal Prancis.
Sepanjang semester I tahun ini, laba kotor pendapatan Lafarge dari kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara sebesar US$ 750 juta, tertinggi sejak tahun 2009. MTN, perusahaan telekomunikasi asal Afrika Selatan, yang memiliki unit bisnis di Suriah, Sudan dan Iran, membukukan kenaikan laba kotor sebesar 56% hingga Juni lalu.
Namun, bukan berarti pebisnis tidak tinggal diam menghadapi ISIS. Perusahaan multinasional mulai membagi risiko bisnis berdasarkan wilayah. Perusahaan multinasional memecah lokasi aktivitas bisnis di kawasan Timur Tengah. Strategi lain, menimbun kas lebih besar. Bercermin dari krisis finansial di tahun 2008, General Electric (GE) kini memiliki posisi kas dan setara kas dua kali lipat dibandingkan tahun 2006 lalu. Yang pasti, analis menilai, krisis politik dan keamanan menimbulkan efek negatif lebih kecil di pasar finansial.
Sebagai gambaran, Timur Tengah dan wilayah konflik lain, yakni Afrika Utara, Rusia dan Ukraina, hanya menyumbang 7% dari total produk domestik bruto (PDB) dunia. "Guncangan di kawasan itu hanya luka kecil," ujar salah satu analis Wall Street. Sebab, perusahaan Amerika Serikat, Jepang, dan Inggris yang tercatat di bursa saham dan beroperasi di kawasan konflik, hanya 2%.
Sebagai contoh, konflik politik di Rusia diperkirakan hanya berdampak terhadap 10% aktivitas bisnis perusahaan multinasional. Raksasa minyak asal Inggris, BP, terkena imbas 10% dari total bisnis karena memiliki saham di Rosneft.
Pebisnis justru lebih menakutkan konflik antara China dan Jepang, dibandingkan ancaman ISIS dan konflik Rusia. "Sekarang adalah era ekonomi China. Ketegangan antara keduanya menakutkan," ujar William Fung, Pendiri Firma Li & Fung.