Reporter: Sanny Cicilia | Editor: Sanny Cicilia
LONDON. Di tengah aksi membereskan aset berisiko, HSBC Plc, salah satu bank terbesar dunia asal Inggris membukukan kenaikan laba sebelum pajak sebesar 9%. Bank yang juga fokus di pasar Asia ini tercatat US$ 22,56 miliar di akhir tahun 2013.
Laba sebelum pajak HSBC di akhir tahun 2012 sebesar US$ 20,65 miliar. Sedangkan underlying laba sebelum pajak naik 41% menjadi US$ 21,59 miliar. Pertumbuhan ini, menurut manajemen HSBC, disebabkan penurunan kredit bermasalah dan pencadangan.
Biaya operasional HSBC bisa turun 6% sepanjang tahun 2013 menjadi US$ 38,2 miliar. Perusahaan bilang, biaya operasional tak bisa turun lebih dalam lantaran pemerintah Inggris menaikkan pungutan untuk perbankan Inggris yang memiliki bisnis di luar. Sehingga HSBC harus membayar pungutan sekitar US$ 904 juta. Sebanyak US$ 484 juta di antaranya terkait dengan aktivitas perbankan di luar Inggris.
Chief Executive Officer (CEO) HSBC Stuart Gulliver sejak tahun 2011 mencoba mengefisiensikan bisnis dengan mengurangi aset berisiko. Dia sudah menjual atau menutup 63 bisnis. Memang dampaknya, pendapatan bisnis HSBC di tahun 2013 hanya tumbuh tipis, yaitu US$ 63,29 miliar dari tahun sebelumnya US$ 61,6 miliar.
Manajemen bilang, pendapatan bisa stabil terutama ditopang bisnis Global Banking & Markets yang bertahan dan pertumbuhan di bisnis perbankan komersial. "Saat ini, bisnis HSBC lebih ringan dan sederhana dibanding tahun 2011, dan memiliki potensi pertumbuhan yang besar," tulis Gulliver, dalam pernyataan resminya.
Selain itu, HSBC mencatat, modal tier 1 bank sebesar US$ 149 miliar, setara dengan rasio kecukupan modal 13,6%. HSBC di akhir tahun lalu memiliki 6.300 kantor cabang yang tersebar di 75 negara dan kawasan. Kapitalisasi bank asal London ini sebesar US$ 207 miliar.
Pertumbuhan di Indonesia
HSBC yang menjalankan bisnis di 18 pasar di Asia Pasifik, di luar China. Australia, Malaysia, Singapura, India, Indonesia termasuk negara dengan bisnis terkuatnya di kawasan ini.
Berdasarkan laporan keuangan HSBC tahun 2013, nilai simpanan masyarakat di bank HSBC Indonesia sebesar US$ 5,86 miliar. Turun dari akhir tahun 2012 yang sebesar US$ 6,51 miliar. Nilai dana pihak ketiga di Indonesia merupakan kedua terendah setelah Vietnam.
Total kredit yang disalurkan US$ 5,95 miliar. Kredit terbesar disalurkan di segmen komersial dan perdagangan internasional, yaitu hingga US$ 5,36 miliar.
Indonesia mengalami pelemahan laba sebelum pajak. Di akhir tahun 2013, total laba sebelum pajak US$ 280 juta, turun dari 2012 yang sebesar US$ 306 juta. Penurunan laba terjadi di bisnis retail banking and wealth management, commercial banking, global banking and markets.
Kinerja laba Indonesia masih lebih baik dibandingkan Vietnam dan Taiwan. Secara kesluruhan di Asia Pasifik, kinerja setiap negara mengalami pelemahan, kecuali di Australia yang labanya tumbuh hingga 62% menjadi US$ 446 juta.
HSBC melihat, Indonesia dan India merupakan dua negara yang paling terimbas dengan kondisi likuiditas global. Begitu uang panas kembali ke negara maju, arus dana asing keluar cukup besar dan melemahkan kurs rupiah atau rupee.
Pelambatan ekonomi Indonesia juga menjadi catatan HSBC. Namun, dengan pengurangan subsidi BBM dan upaya mempersempit defisit perdagangan, seharusnya bisa memperkeuat ekonomi Indonesia.
Tahun 2014
Gulliver menyiapkan tiga prioritas strategi di tahun ini. Pertama, manajemen akan melanjutkan pertumbuhan bisnis dan dividen. Kedua, bank akan melanjutkan penerapan program Global Standards untuk memperkuat respon terhadap kejahatan finansial. Ketiga, perusahaan akan tetap memangkas proses dan prosedur perbankan, dan berhemat sekitar US$ 2 miliar - US$ 3 miliar.
HSBC tetap optimistis melihat prospek ekonomi masa depan, meski melihat pelambatan ekonomi di negara berkembang. Dia memperkirakan, Produk Domestik Bruto di China sebesar 7,4% di akhir tahun 2014, sedangkan di Inggris sebesar 2,6%, dan Amerika Serikat 2,5%.