Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID – KUALA LUMPUR. Bank sentral Malaysia, Bank Negara Malaysia (BNM), mempertahankan suku bunga acuannya di level 3,00% pada Kamis (8/5), namun mengambil langkah pelonggaran kebijakan dengan menurunkan rasio cadangan wajib atau Statutory Reserve Requirement (SRR) sebesar 100 basis poin menjadi 1,00%, berlaku mulai 16 Mei 2025.
Ini merupakan pemangkasan SRR pertama sejak Maret 2020 saat pandemi COVID-19 melanda, yang menurut BNM akan menambah likuiditas sekitar 19 miliar ringgit (setara US$4,45 miliar) ke sistem perbankan.
Baca Juga: Malaysia Tarik Produk RI Halal Mengandung Unsur Babi, Ini Mereknya
BNM menyatakan bahwa meskipun kinerja ekonomi kuartal pertama cukup kuat—dengan estimasi pertumbuhan 4,4%—risiko terhadap prospek pertumbuhan bergeser ke bawah.
Hal ini dipicu oleh perlambatan ekonomi mitra dagang utama, lemahnya belanja dan investasi, serta produksi komoditas yang lebih rendah dari ekspektasi.
“Langkah tarif oleh AS dan balasan dari negara lain telah melemahkan prospek pertumbuhan dan perdagangan global,” tulis BNM dalam pernyataan resminya, sambil menambahkan bahwa ketidakpastian geopolitik dan negosiasi dagang juga menjadi faktor risiko signifikan.
Sikap dovish ini memperkuat ekspektasi pasar bahwa BNM akan memangkas suku bunga acuannya pada kuartal akhir tahun ini, terutama karena inflasi terus mereda.
Inflasi headline turun ke level terendah dalam empat tahun pada Maret, yakni 1,4%, sementara rata-rata inflasi kuartal pertama 2025 tercatat masing-masing sebesar 1,5% untuk headline dan 1,9% untuk inti (core inflation).
Baca Juga: Malaysia Kenakan Bea Anti-Dumping atas Impor PET dari Indonesia dan China
BNM memperkirakan inflasi 2025 akan berada di kisaran 2% hingga 3,5%, sementara inflasi inti berada pada 1,5%–2,5%.
Sebagai perbandingan, inflasi keseluruhan dan inti tahun 2024 sama-sama tercatat di 1,8%.
Di pasar mata uang, ringgit cenderung melemah dan terakhir terpantau turun sekitar 0,8% terhadap dolar AS pascapengumuman kebijakan.
Di tengah tekanan eksternal, BNM menyebut bahwa permintaan terhadap produk elektronik serta peningkatan belanja wisatawan akan memberikan penyangga bagi ekspor Malaysia.
Namun, eskalasi perang dagang global dan ketidakpastian kebijakan global tetap menjadi tantangan besar.
Baca Juga: Gara-Gara Hal Ini, Ekspor Minyak Sawit Indonesia Bisa Kalah dari Malaysia
Sebagai informasi, mulai Juli, ekspor Malaysia ke AS akan dikenai tarif rata-rata 24% jika tidak tercapai kesepakatan renegosiasi.
Perdana Menteri Anwar Ibrahim mengatakan dampak ekonomi dari tarif ini masih bisa dikelola dalam jangka pendek, namun target pertumbuhan ekonomi 2025 kemungkinan tidak tercapai.
Lembaga riset Capital Economics memperkirakan, dengan ruang pelonggaran moneter yang terbuka lebar, BNM akan menurunkan suku bunga menjadi 2,50% pada akhir tahun ini.