Sumber: Reuters | Editor: Avanty Nurdiana
KONTAN.CO.ID - LONDON. Peritel Inggris Marks & Spencer (M&S) tengah melakukan perombakan besar pada rantai pasoknya dari pabrik hingga rak toko. Perombakan ini bagian dari strategi untuk melipatgandakan penjualan tahunan produk non-pangan secara online menjadi hampir £ 3 miliar.
Langkah ini diungkapkan oleh John Lyttle, Direktur Pelaksana divisi fashion, home & beauty (FH&B) M&S yang baru bergabung pada Maret lalu. Lyttle mengatakan, peritel berusia 141 tahun itu kini telah kembali stabil setelah serangan siber pada April lalu yang melumpuhkan penjualan daring dan menimbulkan kerugian sekitar £ 300 juta.
Menurut Lyttle, M&S berhasil memulihkan citra sebagai merek yang menawarkan nilai, kualitas, dan gaya, dengan penjualan FH&B naik 9% dalam tiga tahun terakhir dan pangsa pasar meningkat menjadi 10,5% pada 2024/25 dari 9,1% pada 2021/22.
Baca Juga: MinRes Jual Bisnis Litium ke Posco Senilai Rp 12,77 Triliun
“Kami kini fokus menjadi peritel omnichannel sejati mulai dari bagaimana kami memproduksi barang, mendistribusikannya ke gudang, hingga mengirimkannya ke pelanggan baik secara online maupun di toko,” ujar Lyttle dalam wawancara pertamanya sejak menjabat.
M&S, yang sebagian besar memperoleh pasokan dari China, Bangladesh, India, Pakistan, Vietnam, Kamboja, Sri Lanka, dan Turki, berupaya membangun kemitraan jangka panjang dengan pemasok untuk mengurangi risiko gangguan pasokan.
“Masih banyak peluang yang bisa kami kejar dengan menata ulang cara kami membeli, memanfaatkan skala bisnis untuk meningkatkan margin, memperkuat disiplin biaya, dan mengurangi kompleksitas,” ujar Lyttle.
Langkah ini memperkuat upaya pemulihan di bawah CEO Stuart Machin, yang memimpin kebangkitan M&S sejak 2022. Pada tahun keuangan 2024-2025, laba M&S mencapai level tertinggi dalam lebih dari 15 tahun, dan harga sahamnya mendekati rekor tertinggi satu dekade.
Investor besar M&S, Dominic Younger dari Columbia Threadneedle Investments, menyebut modernisasi rantai pasok fesyen sebagai peluang investasi paling menjanjikan bagi perusahaan, di samping kinerja kuat divisi makanan.
Dengan basis pelanggan pakaian mencapai 21 juta orang, Lyttle menargetkan perombakan rantai pasok dapat melipatgandakan penjualan online FH&B dari sekitar £ 1,4 miliar pada 2024-2025, sekaligus menaikkan margin operasional online menjadi dua digit.
M&S juga menargetkan porsi penjualan online terhadap total penjualan FH&B naik dari 34% menjadi 50% dalam jangka menengah. Sebagai perbandingan, kompetitornya Next sudah mencatat 59% penjualan domestik melalui online berkat adopsi otomatisasi lebih awal.
Untuk mengejar ketertinggalan, M&S akan memperluas variasi produk, mendorong pelanggan menggunakan lebih dari 1.000 toko sebagai titik klik dan ambil (click and collect) serta pengembalian barang, dan memperkenalkan lebih banyak metode pembayaran serta pembaruan program loyalitas Sparks.
Sebagai bagian dari strategi ini, perusahaan menyiapkan investasi sebesar £ 120 juta selama tiga tahun untuk otomatisasi, termasuk robotik di gudang utama Castle Donington dan Bradford guna mempercepat proses sortir dan memperpanjang batas waktu pesanan pengiriman cepat hingga hampir tengah malam.
Total belanja modal M&S pada 2025-2026 mencapai £ 600 juta–US$ 650 juta, dengan £ 200 juta–£250 juta dialokasikan untuk infrastruktur teknologi, pemeliharaan toko, dan modernisasi armada logistik.
Lyttle menegaskan, efisiensi tidak akan berdampak negatif terhadap 63.000 karyawan M&S.
“Pertumbuhan bisnis berarti kami memindahkan lebih banyak produk, dan itu berarti kami membutuhkan lebih banyak orang,” katanya.
Mengenai insiden serangan siber yang memaksa M&S beroperasi manual, Lyttle menyebut peristiwa itu memberikan pelajaran penting bagi perusahaan.
“Bukan hanya soal insidennya, tapi juga hal-hal yang seharusnya bisa kami lakukan dengan lebih baik dan lebih cepat,” ujarnya, tanpa mengungkap detail karena alasan keamanan.













