Sumber: Reuters | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - SEOUL. Maskapai penerbangan bertarif rendah (low-cost carriers/LCC) di Asia Tenggara tengah berlomba memperluas kapasitas armada di tengah tekanan biaya yang terus meningkat dan margin keuntungan yang menipis.
Persaingan sengit ini bahkan memaksa Qantas Airways menutup Jetstar Asia, anak usahanya yang berbasis di Singapura, setelah beroperasi selama dua dekade.
Ledakan LCC Ditopang Permintaan Wisata dan Kenaikan Pendapatan
Dalam dua dekade terakhir, Asia menyaksikan ledakan maskapai murah seiring peningkatan pendapatan masyarakat dan permintaan wisata dari wisatawan Tiongkok yang terus meningkat. Kawasan ini diperkirakan akan mencatat pertumbuhan perjalanan udara tercepat di dunia dalam beberapa dekade ke depan.
Maskapai seperti VietJet dari Vietnam dan AirAsia dari Malaysia telah mengantongi pesanan pesawat dalam jumlah besar dan berencana menambah lebih banyak lagi demi memperluas pangsa pasar.
Baca Juga: Jetstar Asia Tutup Layanan Penerbangan, Scoot dan Singapore Airlines Siap Ambil Alih
Namun, keuntungan di Asia lebih tipis dibandingkan kawasan lain. International Air Transport Association (IATA) memperkirakan margin laba bersih maskapai Asia-Pasifik tahun ini hanya sebesar 1,9%, jauh di bawah rata-rata global 3,7%.
Tarif Turun, Biaya Naik: Kombinasi yang Menghimpit
Seiring pulihnya kapasitas penerbangan pasca-pandemi, persaingan antarmaskapai pun semakin tajam, khususnya di segmen penumpang yang sensitif terhadap harga. Hal ini menyebabkan tarif penerbangan menurun signifikan. Data dari ForwardKeys menunjukkan tarif internasional di Asia turun 12% pada 2024 dibanding 2023.
Maskapai AirAsia melaporkan penurunan 9% pada tarif rata-rata kuartal pertama 2025, meski harga bahan bakar turun dan kapasitas meningkat. Di sisi lain, biaya seperti tenaga kerja, sewa pesawat, perawatan, serta tarif bandara dan keamanan terus naik, menekan profitabilitas industri.
Kondisi inilah yang membuat Jetstar Asia, anak usaha murah Qantas, memutuskan tutup operasi pada akhir Juli 2025. Perusahaan menyebut peningkatan biaya operasional di Singapura – termasuk kenaikan dua digit pada bahan bakar dan biaya bandara – sebagai penyebab utama.
"Margin sangat tipis. Kenaikan biaya sekecil apa pun bisa mengancam kelangsungan maskapai," ujar Sheldon Hee, Wakil Presiden IATA Asia-Pasifik.
Pasar Penerbangan Asia Paling Kompetitif di Dunia
Menurut laporan OAG, Asia-Pasifik saat ini merupakan pasar penerbangan paling kompetitif di dunia. Kapasitas besar yang terus ditambahkan menekan tarif hingga “mengorbankan profit.” OAG menegaskan, "Menyeimbangkan pasokan dengan permintaan dan biaya dengan pendapatan menjadi lebih penting dari sebelumnya."
Baca Juga: Kecelakaan Air India Membuat Boeing Kembali Krisis Kepercayaan
Data dari CAPA Centre for Aviation mengungkap sekitar dua pertiga kursi internasional di Asia Tenggara diisi oleh maskapai murah, jauh lebih tinggi dibanding rata-rata global yang hanya sepertiga.
Langkah Qantas memindahkan pesawat Jetstar Asia ke operasi yang lebih hemat biaya di Australia dan Selandia Baru disebut sebagai langkah logis untuk menghindari kerugian lebih besar.
Dominasi Pemain Besar dan Ekspansi Agresif
Sebelum pandemi, banyak maskapai LCC di Asia Tenggara sudah kesulitan meraih keuntungan karena kompetisi ketat. Kini, tantangannya bertambah dengan lonjakan biaya. Dalam kondisi ini, skala menjadi kunci efisiensi.
Jetstar Asia hanya memiliki 13 pesawat, jauh tertinggal dari rivalnya seperti:
-
Scoot (anak usaha Singapore Airlines): 53 pesawat
-
VietJet: 117 pesawat (termasuk unit di Thailand)
-
AirAsia: 225 pesawat
-
Cebu Pacific (Filipina): 99 pesawat
Keempatnya masih terus menambah armada. VietJet, misalnya, baru saja menandatangani kesepakatan sementara untuk membeli hingga 150 pesawat Airbus dan sebelumnya telah memesan 20 unit A330neo serta 200 Boeing 737 MAX.
AirAsia juga mengincar pembelian 50–70 pesawat lorong tunggal jarak jauh serta 100 jet regional untuk memperluas jangkauan ke destinasi baru, menurut CEO Tony Fernandes.
Baca Juga: Jetstar Asia Hentikan Operasi, Kemenhub: Kami Masih Tunggu Surat Resmi!
"Go Big or Go Home"
Kondisi saat ini mencerminkan prinsip yang makin nyata di industri penerbangan murah Asia: "Go big or go home" – tumbuh besar atau tersingkir.
Hal ini ditegaskan oleh Subhas Menon, Direktur Jenderal Asosiasi Maskapai Asia Pasifik, yang menyatakan bahwa hanya maskapai dengan skala besar dan efisiensi tinggi yang akan bertahan dalam iklim persaingan ekstrem ini.