kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,02   -8,28   -0.91%
  • EMAS1.318.000 0,61%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Miliarder wanita pertama dari outsourcing (1)


Selasa, 16 Mei 2017 / 13:19 WIB
Miliarder wanita pertama dari outsourcing (1)


Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Tri Adi

Menjalani hidup sejak kecil hingga remaja dengan penuh liku dan ekonomi pas-pasan justru menempa Yoshiko Shinohara. Wanita kelahiran 1934 ini berhasil menjadi orang terkaya di Jepang dengan nilai kekayaan US$ 1,17 miliar. Hartanya tersebut berasal dari bisnis penyedia (outsourcing) pegawai dan sekretaris. Keberhasilan Yoshiko yang diraih saat ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dia memulai bisnis dari sebuah kamar apartemen.

Memasuki tahun 2017, wanita asal Jepang Yoshiko Shinohara berhasil menduduki posisi sebagai orang terkaya di Jepang versi Forbes. Per 14 April 2017, kekayaan Yoshiko telah mencapai US$ 1,17 miliar. Kekayaannya tersebut tumbuh signifikan dibanding pencapaiannya pada bulan sebelumnya sebesar US$ 1,1 miliar.

Yoshiko didaulat oleh Forbes pada 20 Januari 2017 sebagai orang pertama yang sukses dengan usaha sendiri di tahun 2017 atau self made billionaire. Dalam artikel Forbes, karier wanita berusia 82 tahun ini dimulai sekitar 40 tahun lalu.

Yoshiko yang bermodalkan ijazah Sekolah Menengah Atas (SMA) memiliki pengalaman bekerja bidang kesekretariatan di dua benua berbeda. Berbekal pengalaman tersebut, Yoshiko mendirikan perusahaan yang membawanya ke posisi saat ini, yakni Temp Staffing Company. Perusahaan tersebut adalah cikal bakal Temp Holdings, sebuah perusahaan penyedia jasa kesekretariatan dan kepegawaian terkemuka asal Jepang.

Yoshiko memulai bisnis dari kamar apartemen miliknya yang terletak di Tokyo. Perjalanan kariernya pun dilalui penuh aral melintang. Meski begitu, wanita kelahiran tahun 1934 itu teguh menjalani bisnis tersebut. Sebab, Yoshiko lahir pada masa Perang Dunia II. Belum lagi, dia sejak berusia delapan tahun telah ditinggal oleh sang ayah.

Sang ayah yang menjadi seorang kepala sekolah ini meninggal dunia dan membuat sang ibu harus bekerja keras menghidupi keluarganya. Alhasil, Yoshiko tumbuh besar bersama sang ibu.  

Perjalanan hidup itulah membuat Yoshiko memiliki jiwa pekerja keras. Dia juga cenderung memiliki sikap penasaran dan keinginan belajar sangat tinggi. Apalagi dia melalui hidup dalam kondisi ekonomi keluarga krisis. Ibu Yoshiko memutuskan untuk tidak menikah lagi dan tetap membiayai Yoshiko seorang diri.


Setelah lulus SMA, Yoshiko yang baru berusia 20 tahun langsung memutuskan untuk menikah. Tidak berjalan dengan mulus, pernikahannya pun kandas. Ia bercerai dari suaminya.

Mengutip artikel yang dirilis Bloomberg Juli 2004, tidak lama setelah perceraiannya, Yoshiko memutuskan untuk menghabiskan waktunya di Inggris.

Semasa tinggal di Inggris, ia belajar menguasai ilmu kesekretariatan. Usai menuntaskan pendidikan di Inggris, Yoshiko kemudian mendapatkan tawaran bekerja di perusahaan marketing asal Negeri Kanguru, Australia.

Yoshiko menyebut, pekerjaannya di Australia membuka matanya tentang bagaimana perempuan dapat memiliki peranan penting dalam perusahaan. Ia terinspirasi oleh salah satu manajer wanita di perusahaan tersebut.

Kala itu, jabatan seperti itu baru populer di negara barat, seperti Eropa dan Australia. Sementara di Asia masih belum lumrah.

Berbekal dari pendidikan dan pengalaman itu, pada tahun 1973, Yoshiko kembali ke Jepang pada usia 38 tahun. Bloomberg menulis, Yoshiko menyebut keinginannya untuk mendirikan perusahaan Temp sangat sulit. Pasalnya, wanita ini sama sekali tidak mengerti cara menjalankan sebuah perusahaan rintisan atau start up.

Meski tak mulus, Yoshiko tetap gencar mencari pelanggan. Ia pun menyasar beberapa perusahaan asing maupun lokal yang berada di Jepang. Tidak jarang, Yoshiko harus menelpon 20 perusahaan per hari. Dan hasilnya, ia tidak mendapatkan pelanggan satu pun.

Akibat bisnisnya yang belum berjalan lancar itu, Yoshiko terpaksa merangkap menjadi guru bahasa Inggris pada malam hari untuk membayar sewa apartemen yang kala itu menjadi tempat tinggal sekaligus kantornya.          

(Bersambung)




TERBARU

[X]
×