Sumber: Reuters | Editor: S.S. Kurniawan
Dan, China menyatakan, pernyataan tersebut merupakan "lelucon lain dalam tur global oleh pihak berwenang AS untuk mengalihkan perhatian pada masalah-masalah domestik dan mencari keegoisan keuntungan politik".
"AS pertama-tama harus melihat ke cermin untuk melihat, apakah masih terlihat seperti negara besar sekarang," ujar Kedutaan Besar China seperti diklansir Reuters.
Myanmar semakin menjadi medan pertempuran bagi pengaruh AS dan China sejak hubungan antara pemerintah yang dipimpin oleh pemenang Nobel Aung San Suu Kyi dan Barat menjadi tegang karena perlakuannya terhadap minoritas Muslim Rohingya.
Baca Juga: Kian panas, AS ajak ASEAN mengakui China telah melanggar hukum di Laut China Selatan
Penulis dan sejarawan Myanmar Thant Myint-U mengatakan kepada Reuters melalui e-mail, meskipun negara itu memiliki nilai ekonomi yang bisa para pesaing abaikan, kepentingan strategisnya sebagai jembatan antara daratan China dan Teluk Benggala sulit untuk dikesampingkan.
"Naluri Myanmar sejak kemerdekaan pada 1948 adalah berusaha berteman dengan semua orang, tetapi tidak jelas, apakah itu akan tetap mungkin, dalam periode persaingan adikuasa (AS dan China) yang semakin meningkat," katanya.
"Beratnya revolusi industri raksasa China sudah mengubah Myanmar. Jika proyek infrastruktur multi-miliar dollar ditambahkan sebagai campuran, perbatasan antara kedua negara (China-Myanmar) akan menjadi semakin sulit dilihat," ujar Thant.
Baca Juga: China tak gentar dengan sanksi apa pun dari AS terkait Laut China Selatan
"Penting untuk diingat, Myanmar adalah salah satu dari sedikit negara di dunia, di mana Perang Dingin terakhir menyebabkan pertempuran bersenjata proksi yang pada gilirannya menyebabkan kediktatoran militer dan dekade isolasi diri," imbuh dia.