Sumber: CNN | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
DOHA. Krisis diplomatik yang melanda Qatar pada Senin (5/6) kemarin, dapat menyebabkan masalah pada Al Jazeera, yang kerap disebut permata mahkota Qatar.
Jaringan media yang didukung pemerintah Qatar ini sudah menjadi merek global, namun juga sudah menjadi kekuatan yang terpolarisasi. Hal ini membuat Al Jazeera memiliki banyak musuh, dari Riyadh hingga Kairo, melalui kritiknya terhadap pemerintah Arab dan liputan penggulingan Presiden Mesir Mohamed Morsy.
Lima negara Arab saat ini telah memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar. Langkah ini dinilai sebagai langkah dramatis yang menunjukkan tingginya ketegangan hubungan negara Teluk dengan tetangganya. Mereka menuduh Qatar mendukung terorisme, tuduhan yang dibantah Qatar karena tidak berdasar.
Negara-negara Teluk besar, seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, saat ini berada di posisi atas untuk menuntut konsesi dari Qatar sebagai imbalan atas pemulihan hubungan diplomatik dan ekonomi. Sejumlah analis mengatakan, salah satu tuntutan mereka bisa jadi penutupan Al Jazeera.
"Langkah pertama dari Emir Qatar sepertinya akan menutup seluruh jaringan TV Al Jazeera, yang bisa terjadi dalam hitungan waktu bulan jika tidak minggu," tulis Sultan Al Qassemi, komentator regional terkemuka melalui tweet.
Sementara, Michael Stephens, peneliti dari Royal United Services Institute (RUSI) di London, bilang Qatar akan dipaksa untuk melakukan sejumlah kompromi besar. Dia juga mengatakan, permintaan spesifik masih belum jelas, namun posisi Al Jazeera berada dalam bahaya.
"Tidak ada yang mengejutkan saya saat ini. Saya langsung bisa melihat apa yang akan diminta oleh mereka," kata Stephens.
Al Jazeera belum mau memberikan komentarnya mengenai hal ini.
Sekadar informasi, Al Jazeera didirikan dua dekade lalu di Doha. Media ini berhasil menyebarkan pengaruh politik Qatar dengan menyiarkan program bahasa Arab yang bisa kita saksikan di banyak rumah di kawasan Teluk saat ini.
Jaringan ini terus berekspansi dengan meluncurkan program bahasa Inggris yang menargetkan pasar lebih luas, termasuk Amerika Serikat. Meski masih didanai oleh Qatar, Al Jazeera versi Inggris dan Al Jazeera Amerika dipandang memiliki editorial yang lebih independen.
Di luar semua itu, brand jurnalistik ini dengan cepat menciptakan musuh. Analis mengatakan, Al Jazeera cukup vokal melontarkan kritik pada pemerintah otoriter di kawasan.
"Al Jazeera itu sensasional, Islami, dan pan-Arab, namun Al Jazeera mampu menampilkan masalah kebijakan Doha dengan cara yang lebih beragam dari yang diketahui banyak orang. Banyak pemerintah Arab lebih menginginkan Al Jazeera menghilang begitu saja," tulis Simon Henderson, direktur Program Kebijakan Teluk dan Energi The Washington Institute.
Jaringan Al Jazeera juga menegaskan bahwa peliputan mereka sangat adil dan tidak bias. Al Jazeera juga memiliki reputasi: pelaporan berita yang berani atas hak asasi manusia dan masyarakat yang rentan.
Namun, di kawasan di mana jaringan media kerap digunakan sebagai alat politik, Al Jazeera tidak mampu menghindari perangkap dalam pertikaian geopolitik. Arab Saudi, contohnya, menarik duta besarnya dari Doha pada 2002 setelah Al Jazeera menyiarkan pernyataan yang mengkritik keluarga kerajaan. Duta besar itu tidak kembali hingga 2007.
Al Jazeera pertama kali menarik perhatian di AS setelah menyiarkan video Osama bin Laden mengklaim serangan 9-11. Selama Perang Iraq, pejabat pemerintahan tinggi Bush mendapatkan kritik keras dari Al Jazeera.
Pada 2003, anggota staf Al Jazeera terbunuh dan tiga karyawan lainnya terluka akibat serangan udara Amerika ke Baghdad. Pemerintah AS membantah telah menjadikan Al Jazeera sebagai target.
Pemberitaan saat terjadinya Arab Spring semakin membuat posisi editorial Al Jazeera menjadi semakin rumit. Para kritikus menuduh Al Jazeera sebagai pemandu sorak untuk revolusi di Libya dan Mesir, namun menyoroti liputannya tentang perbedaan pendapat di negara tetangga Bahrain sebagai pihak yang pemalu.
Di luar semua itu, Al Jazeera juga menghadapi angin badai pada perekonomiannya. Meskipun banyak mendapat pujian atas karya jurnalistiknya, jaringan tersebut mengabaikan jaringan AS, yakni Al Jazeera America, pada tahun 2016 setelah gagal menarik penonton.
Al Jazeera juga banyak melakukan pemangkasan jumlah karyawan di kantor pusatnya.
Cukup sulit untuk mengatakan apakah hari-hari terdepan Al Jazeera tinggal menghitung waktu. Tapi Al Jazeera sudah diblokir di Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, yang menandakan rasa tidak suka mereka terhadap Al Jazeera belum mereda.
"Jika Al Jazeera tidak ditutup, maka akan ada klausul serius tentang apa yang bisa dan tidak bisa diliput," kata Stephens dari RUSI.