Reporter: Barratut Taqiyyah Rafie | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - KUALA LUMPUR. Malaysia akan muncul sebagai salah satu negara penerima keuntungan besar dari larangan ekspor bauksit terbaru oleh pemerintah Indonesia. Informasi saja, Malaysia pernah menjadi salah satu dari 10 pemasok bauksit terbesar dunia ke China.
Mengutip The Straits Times, berdasarkan data bea cukai Indonesia, China mengimpor 17,8 juta ton bauksit pada 2021 dari negara tersebut, terhitung sekitar 15 persen dari total impornya.
Sedangkan secara total, berdasarkan data Statista, China mengimpor 107,42 juta ton bauksit pada 2021.
“Dalam situasi ini, jika suatu negara (Indonesia) telah memberlakukan larangan ekspor bauksit, maka permintaan global akan beralih ke negara lain mana pun yang dapat memasok sumber daya tersebut,” jelas Menteri Sumber Daya Alam, Lingkungan Hidup, dan Perubahan Iklim Malaysia Nik Nazmi kepada The Straits Times.
Dia menambahkan, “Dalam hal ini, permintaan bauksit dari Malaysia akan tinggi, terutama dari China.”
Baca Juga: Kadin: Larangan Ekspor Bauksit Dukung Industri Smelter Dalam Negeri
Dia menjelaskan, meskipun Malaysia telah memberlakukan batas atas ekspor bauksit sebesar 600.000 ton per bulan sejak 2019, dengan sebagian besar ekspornya dalam beberapa tahun terakhir ditujukan ke China, batas ekspor saat ini masih “kurang dimanfaatkan”.
Bahkan, lanjutnya, ekspor bauksit Malaysia tidak perlu ditingkatkan demi memenuhi permintaan dari China pada 2023.
Indonesia, produsen bauksit terbesar keenam di dunia, sumber utama aluminium, telah mengambil langkah proteksionis untuk menghentikan ekspor mulai bulan Juni. Ini merupakan sebuah langkah untuk mendorong pengolahan mineral di dalam negeri, yang akan menciptakan pertumbuhan, meningkatkan kesempatan kerja dan meningkatkan pendapatan negara.
Kebijakan yang ditetapkan Indonesia ini merupakan yang pertama kalinya sejak tahun 2014, membuka jalan bagi Malaysia untuk muncul sebagai produsen utama di belakang permintaan yang melonjak dari China.
Namun pada 2019, peringkat Malaysia turun ke posisi 18 di antara 20 produsen terbesar dunia, setelah larangan penambangan selama tiga tahun diberlakukan pada 2016 karena penambangan yang tidak diatur di negara bagian timur Pahang.
Baca Juga: Ekspor Dilarang, Penyerapan Bijih Bauksit Dalam Negeri Digenjot
Penambangan bauksit menjadi kontroversi di Malaysia dan dikritik oleh pecinta lingkungan setelah limpahan dari timbunan yang tidak aman mencemari sumber air, menodai jalan, sungai, dan perairan pesisir menjadi merah.
Data yang dihimpun Departemen Mineral dan Geosains, produksi bauksit Malaysia, yang mencapai 27,7 juta ton pada 2015, turun lebih dari 96% menjadi hanya 900.561 ton pada 2019.
Selanjutnya, ekspor Malaysia juga menyusut sekitar 74% menjadi sekitar 912.118 ton pada 2019 dari 3,5 juta ton pada 2015.
Meski larangan penambangan dicabut pada tahun 2019, peraturan baru yang ketat seperti pengurangan area yang diperbolehkan untuk kegiatan penambangan di Pahang antara periode Juni 2020 dan Mei 2021 serta diwajibkannya studi dampak lingkungan menyebabkan ekspor Malaysia semakin menyusut menjadi hanya 227.691 ton pada tahun 2021.
Menurut S&P Global Consumer Insight, tingkat permintaan bauksit China telah tumbuh dengan pesat selama beberapa tahun terakhir karena industri alumina mencapai kecepatan penuh dengan perluasan kapasitas alumina.
China memurnikan bauksit untuk mendapatkan alumina, yang dilebur untuk menghasilkan aluminium. Peleburan adalah proses mengekstraksi logam dari bijihnya.
Baca Juga: Kementerian ESDM Sebut Larangan Ekspor Konsentrat Tembaga Berpegang pada UU Minerba
Ekonom pertanian Julian Conway McGill, kepala Asia Tenggara untuk perusahaan konsultan komoditas LMC International, mengantisipasi peningkatan ekspor bauksit Malaysia karena keputusan China untuk membuka kembali ekonominya akan membantu merangsang permintaan peleburan aluminium.
“Gangguan pasokan dari larangan ekspor terbaru dapat menyebabkan harga bauksit naik dalam jangka pendek. Ini akan mendorong penambang di Malaysia untuk memproduksi lebih banyak bauksit, yang akan mengurangi biaya produksi yang lebih tinggi,” katanya.
Analis memperkirakan larangan ekspor bauksit Indonesia akan menaikkan harga aluminium dalam jangka pendek.
Kontrak berjangka aluminium untuk tiga bulan ke depan di London Metal Exchange mencapai US$ 2.378 per ton pada penutupan Jumat lalu.
Dalam waktu dekat, RHB Research memperkirakan harga aluminium London Metal Exchange diperdagangkan dalam kisaran US$ 2.300-US$ 2.500 per ton, dengan harga diperkirakan akan naik pada tahun 2023.
Baca Juga: Begini Kesiapan Antam (ANTM) Hadapi Larangan Ekspor Bauksit
“Ini akan didukung oleh tingkat persediaan aluminium yang rendah secara global, peningkatan adopsi aluminium dari sektor energi terbarukan dan kendaraan listrik, serta potensi pelonggaran langkah-langkah penahanan Covid-19 di China,” kata rumah penelitian itu pada 13 Desember.
Larangan ekspor bauksit Indonesia
Sebelumnya diberitakan, Presiden Joko Widodo mengumumkan akan melarang ekspor bijih bauksit mulai Juni 2023 pada Rabu (21/12/2022) lalu.
Melansir laman setkab.go.id, tujuan utama pelarangan bauksit adalah untuk mendorong industri pengolahan dan pemurnian bauksit di dalam negeri.
“Saya ulangi, mulai Juni 2023 pemerintah akan memberlakukan pelarangan ekspor bijih bauksit dan mendorong industri pengolahan dan pemurnian bauksit di dalam negeri,” ujar Presiden.
Menurut Jokowi, dari industrialisasi bauksit di dalam negeri ini, diperkirakan pendapatan negara akan meningkat dari Rp 21 triliun menjadi sekitar kurang lebih Rp 62 triliun.
Menurut Jokowi, pemerintah terus berusaha untuk meningkatkan industri pengolahan sumber daya alam di dalam negeri. Pemerintah juga akan terus mengurangi ekspor bahan mentah sekaligus meningkatkan hilirisasi industri berbasis sumber daya alam di dalam negeri.
Setidaknya, ada empat tujuan utama yang melatarbelakangi pemerintah atas pelarangan ekspor bahan mentah pertambangan ini.
Pertama, mewujudkan kedaulatan sumber daya alam. Kedua, meningkatkan nilai tambah di dalam negeri, terutama dalam rangka pembukaan lapangan kerja yang sebanyak-banyaknya. Ketiga, peningkatan penerimaan devisa. Keempat, pertumbuhan ekonomi yang lebih merata.
Sebelumnya, sejak 1 Januari 2020, pemerintah telah memberlakukan kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel. Lewat kebijakan tersebut, Indonesia berhasil mencatatkan peningkatan nilai ekspor nikel secara signifikan dari Rp 17 triliun di akhir tahun 2014 menjadi Rp 326 triliun pada tahun 2021, atau meningkat 19 kali lipat.
Bahkan Jokowi memprediksi, tahun ini akan tembus lebih dari Rp 468 triliun atau lebih dari US$ 30 miliar.