Sumber: The Guardian | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gelombang pengakuan internasional terhadap negara Palestina memicu kemarahan hampir menyeluruh di seluruh spektrum politik Israel. Pada Minggu (21/9), Inggris, Portugal, Australia, dan Kanada secara resmi mengakui negara Palestina. Prancis diperkirakan akan menyusul pada Senin.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyebut langkah tersebut sebagai sebuah “absurditas” dan “hadiah bagi terorisme”. Sementara Presiden Israel menyatakan keputusan itu akan “memberi semangat bagi kekuatan kegelapan”.
Persatuan Politik Israel Hadapi Pengakuan Palestina
Tidak hanya pemerintah, pihak oposisi Israel juga menggunakan retorika serupa. Yair Lapid, pemimpin partai sentris Yesh Atid, menilai keputusan itu sebagai “bencana diplomatik, langkah buruk, dan hadiah bagi teror”.
Baca Juga: Sejumlah Negara Siap Akui Negara Palestina, Israel dan AS Boikot KTT
Meski demikian, para analis menilai pengakuan internasional ini tidak akan mengubah kebijakan Israel. Menurut Yaakov Amidror, mantan penasihat keamanan nasional Netanyahu, keputusan luar negeri tersebut “tidak akan berpengaruh satu milimeter pun terhadap pengambilan kebijakan” di Israel.
Netanyahu Didukung Basis Politik Kanan Ekstrem
Netanyahu memimpin pemerintahan paling sayap kanan dalam sejarah Israel, yang bergantung pada dukungan faksi Zionis religius ekstrem serta partai-partai ultra-Ortodoks.
Dukungan ini menjadikan pemerintahannya kebal terhadap tekanan internasional, termasuk kritik atas perang di Gaza yang telah menewaskan lebih dari 65.000 jiwa serta ekspansi permukiman ilegal di Tepi Barat.
Menurut Gideon Rahat, profesor ilmu politik Universitas Ibrani Yerusalem, pengakuan Palestina justru memperkuat posisi Netanyahu dalam jangka pendek. “Banyak orang Israel khawatir terhadap isolasi internasional, tapi sebagian besar bukan pendukung Netanyahu, apalagi basis pemilihnya,” ujarnya.
Baca Juga: Berbondong-bondong Sekutu Israel Mulai Akui Negara Palestina di Tengah Krisis Gaza
Persepsi di Dalam Negeri: “Permainan Zero-Sum”
Pengakuan negara Palestina dipandang oleh banyak warga Israel sebagai permainan zero-sum: jika mendukung penentuan nasib sendiri bangsa Palestina, maka berarti menentang Israel.
Shira Efron, peneliti senior di Rand Corporation, menegaskan bahwa konsep solusi dua negara kini menjadi “merek beracun” di Israel, meskipun survei menunjukkan tingginya dukungan publik terhadap bentuk pembagian wilayah tertentu.
Di Yerusalem sendiri, kehidupan sehari-hari tampak berjalan normal. Seorang warga bernama Yosef, imigran dari Prancis, menilai keputusan Presiden Emmanuel Macron lebih didorong oleh alasan politik domestik untuk menarik dukungan komunitas Muslim di negaranya.
Respons Politik dan Ancaman Balasan Israel
Sejumlah tokoh Israel, termasuk mantan PM Naftali Bennett, memperingatkan bahwa pengakuan Palestina akan mendorong radikalisasi lebih lanjut di negara-negara Barat. Bennett menegaskan bahwa pengalaman sebelumnya dengan Gaza menunjukkan bahwa “negara Palestina akan berubah menjadi negara teror”.
Pemerintah Israel berjanji akan mengambil langkah balasan terhadap negara-negara pengakui Palestina, khususnya Prancis. Opsi yang dipertimbangkan termasuk mengusir diplomat dan menutup konsulat di Yerusalem Timur.
Baca Juga: Dua Rumah Sakit di Gaza City Lumpuh Akibat Eskalasi Serangan Israel
Di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa Netanyahu dapat mempercepat aneksasi penuh Tepi Barat, meski sebagian analis menilai hal ini kecil kemungkinannya karena bisa memicu ketegangan dengan negara-negara Arab, termasuk Uni Emirat Arab, yang menyebutnya sebagai “garis merah”.
Langkah Selanjutnya
Netanyahu dijadwalkan melakukan kunjungan ke Washington untuk bertemu Presiden Donald Trump dan pejabat senior AS pada akhir bulan ini, sebelum memutuskan langkah balasan resmi.
Namun, ia sudah memberi sinyal akan mempercepat ekspansi permukiman di Tepi Barat, yang dinilai ilegal oleh hukum internasional.
Kolumnis Israel, Itamar Eichner dari Yedioth Ahronoth, menulis bahwa Israel kini menghadapi dilema sulit. “Israel tidak ingin membuat langkah yang memperburuk isolasi, tetapi di sisi lain tidak boleh terlihat lemah. Jika Israel tidak menanggapi, maka lebih banyak negara bisa tergoda untuk ikut mengakui Palestina.”