Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - NEW YORK. Memasuki kuartal II 2022, pasar saham dan obligasi Amerika Serikat (AS) menunjukkan sinyal yang berbeda dari terkait prospek pertumbuhan dibandingkan setelah kuartal I berakhir melempem.
Indeks S&P telah bangkit kembali dari penurunan hampir 13% . Rebound tersebut membuat kuartal I diakhiri dengan hanya terkoreksi 4,9%. Kenaikan itu berseberangan dengan kekhawatiran terkait kebijakan moneter yang lebih ketat dan ketidakpastian geopolitik akibat perang Rusia-Ukraina.
Sedangkan investor obligasi jauh lebih pesimis terhadap ekonomi dengan indeks ICE BofA di jalur menuju awal terburuk tahun ini di tengah kekhawatiran bahwa The Fed akan menyebabkan resesi karena secara agresif memperketat kebijakan moneter dalam upayanya melawan lonjakan inflasi. Imbal hasil obligasi tenor 10 tahun naik 81 basis poin pada kuartal I, tertinggi sejak Mei 2019.
Sementara itu, Indeks CBOE Volatility, yang sering dipandang sebagai ukuran kekhawatiran di pasar saham, tidak bergerak jauh dari level terendahnya tahun ini. Di saat yang sama, indeks ICE BofAML MOVE, yang melacak imbal hasil treasury, tetap tinggi.
Baca Juga: Xi Jinping: China & Uni Eropa Harus Menjadi Kekuatan yang Menegakkan Perdamaian Dunia
"Pasar suku bunga sangat konsisten dalam menggambarkan bahwa The Fed akan melakukan beberapa kerusakan pada ekonomi, Sementara pasar berisiko belum benar-benar melakukan pekerjaan yang baik untuk menentukan harga kerusakan signifikan pada prospek pertumbuhan," kata Edward Al Hussainy, analis suku bunga dan mata uang senior di Columbia Threadneedle dikutip Reuters, Senin (4/3).
Salah satu sumber pertentangan di antara investor adalah kurva imbal hasil, di mana tingkat Treasury dua tahun naik sebentar di atas Treasury 10 tahun awal pekan ini.
Pembalikan semacam itu mengkhawatirkan karena telah mendahului enam dari tujuh resesi sejak 1978, menurut data dari Truist Advisory Services. Beberapa investor, bagaimanapun, telah memberikan berbagai alasan mengapa kekuatan prediksi sinyal mungkin tidak berlaku kali ini, termasuk potensi efek distorsi dari stimulus COVID-19 besar-besaran yang dilakukan Fed di pasar suku bunga.
Berdasarkan data Truist, resesi telah mengikuti inversi masa lalu dengan jeda rata-rata 16 bulan, dan S&P 500 rata-rata naik 11% dalam 12 bulan setelah inversi. Secara keseluruhan, S&P 500 telah anjlok rata-rata 8,8% selama empat resesi sejak 1990, menurut data CFRA.
Baca Juga: China Kirim Militer ke Shanghai untuk Bantu Tes Covid-19, Terbesar Sejak Wuhan
Sameer Samana, ahli strategi pasar global senior di Wells Fargo Investment Institute mengatakan, pihaknya menggangap kenaikan pasar saham tersebut sebagai semacam hadiah. “ JIka Anda tidak bisa mengurangi eksposur ke beberapa area spekulasi pasar sebelum koreksi, sekarang adalah waktu Anda,” ujarnya.
Mark Haefele, kepala investasi UBS Global Wealth Management, memperingatkan investor agar tidak terlalu menafsirkan kenaikan pasar saham atau kesuraman di pasar obligasi. UBS telah mengurangi prospeknya untuk pertumbuhan pendapatan global dan sekarang melihat kenaikan yang lebih moderat untuk saham dengan target akhir tahun 4.700 pada S&P 500. Indeks ditutup pada 4.530,41 pada hari Kamis.
Sementara yang lain telah menunjukkan bahwa kesenjangan antara hasil pada treasuries 3-bulan dan 10 tahun merupakan hal positif, kesenjangannya sekitar 180 basis poin. Menurut Gary Cloud, manajer portofolio di Hennessy, Itu pertanda masih ada ruang bagi The Fed untuk mengubah persneling sebelum pasar mulai memperhitungkan resesi.