Sumber: DW.com | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - DW. Muhammad Nabaei melarikan diri dari negara asalnya Iran ketika pemerintah menindak keras aksi protes besar-besaran tahun 2009. Pria berusia 33 tahun itu terbang ke Indonesia dan membeli tiket ke Australia lewat seorang penyelundup manusia.
Setelah penantian bertahun-tahun di pusat penahanan,. tdak sampai tahun 2012, statusnya di negeri kangguru itu kemudian diakui sebagai pengungsi.
Lalu ia pindah ke Melbourne. Di sana dia menghabiskan tiga tahun berusaha mencari pekerjaan - akhirnya mendapatkan pekerjaan dari perusahaan makanan yang secara aktif mencari orang-orang seperti dia.
"Bagi kami, pencari suaka dan pengungsi merupakan keuntungan yang sangat kompetitif, " papar Chris Ennis, manajer CERES Fair Food, dimana Nabaei bekerja sebagai pengawas produksi.
"Orang-orang yang melarikan diri ke Australia melalui transit di beberapa, melalui pusat-pusat detensi, harus gigih, cerdik dan ulet," ujar Ennis kepada kantor berita Reuters.
Ennis mengatakan Fair Food, yang menghasilkan sekitar 1.000 kotak buah dan sayuran organik per minggu untuk pelanggan di sekitar Melbourne. Perusahaan ini mempekerjakan migran yang berasal dari tanduk Afrika, Timur Tengah, Sri Lanka.
"Pikirkan di mana perang itu terjadi, dan kita punya orang seperti mereka," ujarnya. "Pada saat mereka tiba di sini, mereka jadi sosok yang kuat. Sehingga kami punya tenaga kerja yang penuh denganorang-orang yang kuat, gigih dan cerdas. Dan para pekerja kami menginginkan stabilitas, jadi mereka juga betah bekerja di sini," ujarnya lebih lanjut.
Mencari laba, berbagi manfaat bagi orang banyak
Fair Food adalah yang terbesar dari 18 perusahaan bisnis-sosial yang mencari laba namun memberi manfaat bagi masyarakat. Mereka bekerja di taman dan lahan pertanian yang dibangun di atas bekas penggalian dan pembuangan sampah di Melbourne.
Awalnya usaha ini mulai sebagai organisasi kecil yang idealistik dengan mengandalkan relawan dan hibah. Pada tahun 1992, pemerintah negara bagian setempat mendadak memotong pendanaannya hingga 90 persen dalam sekejap. Pendiri organisasi tersebut kemudian memutuskan untuk jalankan usaha dengan mandiri secara finansial.
Segera, mereka membuka dua kafe, pasar, penitipan anak, program pendidikan sekolah, yang menghasilkan omset 10 juta Dolar Australia per tahun. Lebih dari 400.000 orang datang ke taman mereka setiap tahunnya.
Menumbuhkan sektor ekonomi
Laba Fair Food ternyata lebih dari empat juta Dollar AS per tahun dan semua keuntungan itu diputar balik ke CERES, yang memungkinkan keuangan organisasi tersebut menjadi 95 persennya didanai sendiri.
"Orang-orang sangat senang menerima hibah. Mereka berpikir hibah itu putaran ‘uang yang bersih‘. Tetapi pada dasarnya, hibah adalah pajak dari bisnis, yang beberapa di antaranya mungkin jadi lahan pencucian uang melalui pemerintah," ujar Ennis.
"Namun kita bisa juga berbisnis dengan mencari uang sendiri secara etis dan mendanai usaha itu sendiri," tambahnya lebih lanjut.
Perusahaan sosial populer di Australia, yang memiliki sejarah sektor nirlaba yang kuat dan koperasi.
Jo Barraket, direktur Pusat Dampak Sosial di Universitas Swinburne mengatakan Australia kini memiliki lebih dari 20.000 perusahaan sosial dan sektor ini berkembang pesat. Satu dari tiga perusahaan berumur kurang dari lima tahun.
Penelitian timnya telah menemukan bahwa perusahaan sosial memainkan peran vital dalam menciptakan ekonomi yang lebih inklusif.
Di negara bagian Victoria, di mana CERES berada, Barraket telah menemukan bahwa perusahaan sosial mempekerjakan dua kali lebih banyak perempuan sebagai manajer dan mempekerjakan banyak penyandang disabilitas dalam bisnis mereka.
Selain itu, perusahaan sosial ini mempekerjakan rata-rata 12 persen dari pengangguran Australia dan dua persen masyarakat adat, untuk masa kerja jangka panjang.
"CERES adalah bisnis yang diakui di sektor perusahaan sosial, dikenal untuk menunjukkan kemungkinan hasil yang dicapai jika masyarakat berusaha untuk menciptakan lingkungan dan kehidupan sosial yang lebih baik dalam bentuk bisnis berkelanjutan, "kata Barraket lewat email.
Adapun Nabaei tidak punya rencana untuk berganti pekerjaan dalam waktu dekat. Tahun lalu, dia terbang ke Armenia menggunakan uang yang dia tabung dari pekerjaannya itu. Di sana, di negara ketiga yang aman yang berbatasan dengan Iran, dia memeluk orang tuanya untuk pertama kalinya dalam tujuh tahun terakhir sejak mereka berpisah.
"Saya sangat senang bekerja di sini. Saya benar-benar bahagia sekarang dengan hidup saya," katanya.