Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - NEW YORK. Tensi geopolitik yang makin memanas menambah ketidakpastian ekonomi global semakin lama. Perang Rusia Ukrania memunculkan kabar yang membuat AS gerah.
Jurnalis investigasi pemenang Penghargaan Pulitzer, Seymour Hersh menyatakan pengeboman pipa gas bawah laut Nord Stream tahun lalu di Laut Baltik merupakan operasi rahasia yang diperintahkan Biden yg dilakukan CIA.
Ini memunculkan dugaan perang di Ukrania hasil rancangan AS, mengutip EurAsian Time pada Senin (20/2).
Baca Juga: Perdagangan Gas Antara Moskow dan Eropa Selama Puluhan Tahun Hancur Berantakan
Di sisi lain, tensi AS dan China juga meningkat terkait balon misterius yang melintasi AS dan kemungkinan China bisa memasok senjata ke Rusia. Sedangkan Korea Utara makin intensif meluncurkan senjata nuklir.
Kendati demikian, Gedung Putih, Departemen Luar Negeri AS, Pentagon, dan CIA telah dengan tegas menolak klaim serangan ke perusahaan engeri Rusia itu. Sedangkan Moskow menganggapnya serius dan menyebutnya luar biasa terhadap isu ini.
Hers memaparkan penyelam Angkatan Laut AS menanam alat peledak di bawah pipa gas Nord Stream 2 Rusia pada Juni 2022. Tiga bulan kemudian, bahan peledak tersebut menghancurkan tiga dari empat pipa Nord Stream.
Operasi itu disamarkan di bawah latihan NATO pertengahan musim panas yang dipublikasikan secara luas yang dikenal sebagai Operasi Baltik 22 atau BALTOPS 22. Latigan ini dilakukan pada bulan Juni di lepas pantai Jerman.
Itu melibatkan kapal dari 14 negara anggota NATO dan berlangsung di Baltik antara 5 dan 17 Juni 2022.
“Keputusan Biden untuk menyabotase pipa datang setelah lebih dari sembilan bulan perdebatan bolak-balik yang sangat rahasia di dalam komunitas keamanan nasional Washington tentang cara terbaik untuk mencapai tujuan itu,” kata Hersh.
Ia menyebut Biden melihat jaringan pipa sebagai kendaraan bagi Vladimir Putin untuk mempersenjatai gas alam demi ambisi politik dan teritorialnya.
Sedangkan Whistleblower kontroversial, Edward Snowden, mantan kontraktor Badan Keamanan Nasional AS (NSA) bilang isu balon udara China yang melintas di wilayah udara AS merupakan pengalihan isu terkait serangan pipa Nord Stream ini.
Isu balon udara ini telah mengantarkan AS dan China datang ke Jerman akhir pekan lalu. Tetapi pertemuan antara para diplomat top mereka menunjukkan betapa sulitnya untuk berkompromi.
Baca Juga: Kremlin: Penyelidikan Atas Ledakan Pipa Gas Nord Stream Bertujuan Menyalahkan Rusia
Menteri Luar Negeri Antony Blinken dan Anggota Dewan Negara China Wang Yi bertengkar tentang segala hal mulai dari balon dan Taiwan. Hingga Korea Utara dan Rusia dalam pertemuan pertama mereka sejak pesawat terbang melintasi AS dan memicu saling tuding yang sengit.
Diplomat tinggi AS itu juga mengatakan China sedang mempertimbangkan apakah akan memberikan senjata kepada Rusia untuk perangnya di Ukraina, sebuah langkah yang akan meningkatkan ketegangan lebih jauh.
Itu semua menggarisbawahi bagaimana, untuk semua klaim dari Presiden Joe Biden dan Presiden Xi Jinping tentang keinginan mereka untuk memperkuat hubungan. Tampaknya keinginan ini tidak akan tercapai sejak isu balon udara bergulir.
Dan sementara Biden mengatakan minggu lalu dia akan berbicara dengan Xi untuk meredakan ketegangan. Namun tidak ada indikasi kapan itu akan terjadi.
“Hubungannya semakin rapuh. Jika China mencerminkan ke Rusia bantuan yang diberikan Barat kepada Ukraina, itu akan memperkuat aliansi Rusia-China dan juga persepsi Barat tentang China sebagai kekuatan internasional yang jahat,” kata Kori Schake, direktur studi kebijakan luar negeri dan pertahanan di American Enterprise Institute yang sebelumnya bekerja di Departemen Luar Negeri AS dan Pentagon.
Para pemimpin dari tempat-tempat seperti Brasil dan Singapura telah memperingatkan tentang limpahan militer dan ekonomi dari bentrokan berkepanjangan antara dua ekonomi terbesar dunia — dan menyatakan keengganan mereka untuk memilih di antara keduanya.
Blinken berusaha untuk menawarkan jaminan, dengan mengatakan AS tidak mencari Perang Dingin baru setelah Wang mengatakan mentalitas Perang Dingin telah kembali.
Pertemuan yang sulit dan retorika tajam di sekitarnya menunjukkan betapa masamnya hubungan AS-China, dan bagaimana kedua belah pihak tampak ingin bertengkar karena masalah kecil.
Dalam pembacaan pembicaraannya, China bahkan menolak untuk menyebutnya pertemuan, menyebutnya sebagai kontak informal dan berpendapat bahwa keduanya hanya berbicara karena AS yang meminta.