kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45908,54   -10,97   -1.19%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Perang mata uang kembali bergejolak


Jumat, 04 Mei 2012 / 12:03 WIB
Perang mata uang kembali bergejolak
ILUSTRASI. Seorang pria dengan masalah pernapasan menerima bantuan oksigen secara gratis di mobilnya di Gurudwara (Kuil Sikh), di tengah wabah virus corona (COVID-19), di Ghaziabad, India, Sabtu (24/4/2021). REUTERS/Danish Siddiqui.


Reporter: Dyah Megasari, BBC |

NEW YORK. Perang mata uang belum juga tamat. Masih drama lama, perseteruan nilai tukar yuan dan dollar Amerika Serikat (AS) terus memanas.

Paman Sam dan Raja Tirai Bambu terus ngotot dan mempertahankan kebijakan moneter masing-masing. Yang teranyar, Menteri Keuangan Amerika Serikat Timothy Geithner mendesak China agar membiarkan nilai tukar mata uang yuan menguat sesuai mekanisme pasar.

Geithner juga mendesak China agar terus mendorong reformasi ekonomi yang menurut dia sangat penting bagi pemulihan perekonomian global.

Washington sudah lama menuding Beijing dengan sengaja memaksa nilai tukar yuan bergerak lebih rendah terhadap dolar demi mendongkrak ekspor yang berujung pada surplus perdagangan sangat besar dengan AS.

Geithner menghitung mata uang yuan sudah menyesuaikan diri terhadap dolar sebanyak 13% dalam dua tahun belakangan ini. Namun dia mendesak agar nilai tukar yuan terus menguat.

"Dengan nilai tukar mata uang yang lebih kuat dan lebih diterima pasar akan membantu China memperkuat reformasi ekonominya," menurut Geithner.

Amerika menginginkan China harus terus maju dengan reformasi ekonominya termasuk memungkinkan lebih banyak kompetisi asing di pasar negeri itu yang tentu saja diawasi sangat ketat oleh pemerintah.

"Kami bertemu di saat ekonomi global tengah dilanda krisis dan tantangan. Dan negara kami menghadapi tantangan ekonomi yang patut diperhatikan di dalam negeri," ujar Geithner.

Ia menegaskan, Amerika memiliki kepentingan besar terkait kesuksesan reformasi ekonomi China, sebagaimana di bagian lain dunia. Reformasi ekonomi yang dimaksud termasuk mengandalkan lebih banyak konsumsi dalam negeri ketimbang ekspor, memberi peran lebih besar untuk perusahaan swasta dari perusahaan pemerintah dan modernisasi sistem keuangan.

China membela diri

Sementara itu Wakil Perdana Menteri China Wang Qishan yang memimpin pembicaraan dengan delegasi AS menegaskan negerinya sudah membuat banyak kemajuan dan meminta AS tidak memolitisasi isu-isu ekonomi.

Lebih jauh Wang Qishan mengklaim China sudah meningkatkan perlindungan atas hak-hak intelektual, yang merupakan hal kunci hubungan kedua negara.

"Kami harap AS akan melonggarkan kontrol atas ekspor komoditi berbasis teknologi tinggi ke China, mengembangkan kerja sama infrastruktur, meningkatkan akses pasar finansial dan menghindari politisasi isu-isu ekonomi," tandas Wang.

Wang tidak langsung menanggapi isu nilai tukar mata uang namun mengatakan China sudah memperbanyak impor untuk menciptakan keseimbangan perdagangan.

Terkait nilai tukar mata uang yuan, pemerintah China menganggap nilai tukar yuan bergerak secara bertahap untuk menciptakan nilai tukar yang fleksibel.

Namun sejumlah analis menyimpulkan bahwa Beijing tak berupaya cukup keras membuat mata uangnya menguat yang akan membuat surplus perdagangan China berkurang.

"Nilai tukar yuan sudah mencapai titik seimbang, sehingga tidak memiliki landasan yang cukup untuk menjadi lebih kuat," ulas analis ekonomi Bank Industri China, Lu Zhengwei.

Amerika, kata Zhengwei, harus mengubah fokusnya dari penguatan nilai tukar ke pergerakan gradual yuan untuk membuat mata uang China ini bergerak lebih bebas.




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×