kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pergantian Tahta di Jepang: Berakhirnya Era Heisei


Selasa, 30 April 2019 / 15:35 WIB
Pergantian Tahta di Jepang: Berakhirnya Era Heisei


Sumber: DW.com | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - DW. Kaisar Akihito menaiki tahta Tenno Jepang 7 Januari 1989 (foto artikel). Ayahnya Kaisar Hirohito dikenal dunia sebagai Kaisar yang memimpin Jepang memasuki Perang Dunia ke-2 melawan AS dan akhirnya harus mengumumkan kapitulasi 15 Agustus 1945. Sebelumnya, AS menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki yang memusnahkan ratusan ribu orang.

Setelah kalah perang, Kaisar Akihito ingin membangun citra monarki seperti di Inggris. Tahta Kekaisaran tidak mencampuri lagi urusan pemerintahan sehari-hari, melainkan lebih berfungsi sebagai pemersatu dan tokoh bangsa.

Sejak kecil, Akihito dididik oleh seorang guru pribadi asal AS, Elisabeth Gray-Vining. Penulis buku cerita anak-anak inilah yang mengajarkan gagasan-gagasan monarki Eropa, terutama Inggris, kepada Akihito kecil. Mungkin berkat pendidikan ini, sang pangeran dan penerus tahta lalu tumbuh sebagaimana anak muda kalangan elit barat pada usianya.

Sekalipun kalangan istana menentang, Akhito lalu menikahi Michiko, seorang perempuan yang bukan berasal dari kalangan kerajaan. Akihito dan isterinya mendidik anak-anak mereka di rumah sendiri, lalu menyekolahkan kedua anak lelakinya ke universitas terkenal Oxford di Inggris.

Kaisar yang dekat dengan rakyat

Berbeda dengan ayahnya Hirohito, yang dihormati sekaligus sangat disegani pejabat dan rakyat, Kaisar Akhito ingin tampil lebih dekat dengan warga. Beberapa bulan setelah menjabat dia mengatakan: "Saya ingin, sama seperti kaisar-kaisar sebelum saya, melihat rakyat yang sejahtera, pada saat yang sama saya ingin kekaisaran yang sifatnya lebih cocok untuk masa kini."

Akihito dan Michiko jadi sering tampil ke publik dalam berbagai kesempatan, terutama ketika Jepang dilanda bencana. Ketika Jepang menghadapi bencana letusan gunung hebat tahun 1991, Akihito dan Ratu Michiko muncul menemui para korban dengan pakaian biasa dan santai. Hal itu sempat mengagetkan kalangan istana dan kaum konservatif, namun mengundang simpati banyak warga Jepang.

"Ini adalah perilaku yang baru dan ternyata disambut rakyat Jepang", kata pengamat kekaisaran Jepang, Hideya Kawanishi dari Universitas Nagoya. Kaisar Akihito akhirnya menjadi simbol persatuan dan perdamaian Jepang, sebuah era yang disebut Heisei, atau era "membangun perdamaian".

Mencari kerukunan dengan negara tetangga

Nama Kaisar Hirohito melekat dengan sejarah Perang Dunia II dan kekejaman tentara Jepang pada masa itu. Akihito ingin mengubah citra ini dan mengunjungi negara-negara tetangga. Kunjungan luar negeri pertamanya ditujukan ke Indonesia dan Cina.

Karena terikat dengan formalitas, Kaisar Akhito tidak bisa meminta maaf secara resmi atas kejahatan-kejahatan Jepang yang terjadi selama Perang Dunia II. Tetapi dia memuji "kebudayaan tinggi" Indonesia dan Cina dan menyesali "agresi" Jepang, baik di Cina maupun di Indonesia.

Akihito juga bermaksud mengunjungi Korea Selatan, antara lain karena dinasti kekaisaran Jepang dan Kerajaan Korea Paekche dulu berasal dari satu rumpun. Namun pemerintah konservatif Jepang di bawah pimpinan Perdana Menteri Shinzo Abe tidak menyetujui rencana itu. Antara lain karena Korea Selatan masih menuntut permintaan maaf dari pemerintah Jepang karena kasus prostitusi paksa perempuan-perempuan Korea pada masa invasi Jepang sebelum Perang Dunia II.

Sekarang, Kaisar Akihito turun tahta dan digantikan putranya Naruhito, yang berjanji akan melanjutkan haluan yang telah dirintis orang tuanya. Masa kekuasaan Naruhito akan disebut era "Reiwa", artinya harmoni atau damai.




TERBARU

[X]
×