Sumber: South China Morning Post | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - BEIJING. China dan Vietnam sama-sama memperkuat pasukan paramiliter dan armada penangkap ikan untuk mengklaim wilayah Laut China Selatan yang disengketakan.
Pengamat memperingatkan, dua negara bertetangga ini berisiko mengalami bentrokan lebih lanjut setelah tenggelamnya kapal nelayan Vietnam pada pekan lalu.
Melansir South China Morning Post, sementara Beijing melanjutkan taktik tegasnya untuk mencoba mengendalikan lebih banyak perairan yang menyimpang dari pendapat regional dan internasional, Hanoi turut merespons. Akan tetapi, menurut sejumlah analis, Vietnam memiliki kapal yang jauh lebih sedikit.
Baca Juga: Mahfud MD: Pemerintah akan menambah kekuatan alutsista di Natuna
Penilaian itu dilakukan setelah sebuah kapal penjaga pantai Tiongkok dan sebuah kapal penangkap ikan Vietnam bertabrakan
dekat Kepulauan Paracel pada 2 April, dengan masing-masing pihak mengklaim kapal mereka telah ditabrak oleh yang lain.
Kedua negara terlibat dalam sengketa maritim yang berlangsung lama atas klaim sebagian Laut China Selatan, dan sering mengalami perselisihan satu dengan lainnya.
Beijing mengklaim, hampir semua Laut China Selatan sebagai wilayahnya dan telah membangun pulau-pulau buatan dengan fasilitas berkemampuan militer atas terumbu karang dan singkapan di daerah itu, yang juga diklaim sebagian oleh Vietnam.
Baca Juga: Indonesia asks Japan to invest in islands near waters disputed with China
Pengadilan arbitrase internasional di Den Haag memutuskan pada 2016 bahwa klaim bersejarah Tiongkok sebagian besar Laut China Selatan tidak memiliki dasar hukum. China bersumpah untuk mengabaikan putusan tersebut.
Negara-negara Asia Tenggara telah melaporkan peningkatan jumlah kapal Tiongkok di Laut China Selatan. Sebagai contoh, Filipina mengatakan bahwa pada kuartal pertama tahun 2019 telah melihat 275 kapal China - banyak dari mereka kapal penangkap ikan - di sekitar Pulau Thitu, pulau terbesar kedua di kepulauan Spratly, yang telah diduduki oleh Filipina sejak tahun 1971.
Mendukung sikap Vietnam pada insiden tenggelamnya kapal, departemen luar negeri Filipina mengingatkan bahwa 22 nelayan Filipina dibiarkan mengambang di laut lepas Juni lalu ketika sebuah kapal China menabrak dan menenggelamkan kapal mereka di Reed Bank, sebuah gunung berapi bawah laut di timur laut dari Spratly. Den Haag memutuskan pada tahun 2016 bahwa Reed Bank berada di zona ekonomi eksklusif Filipina.
Selain kapal penangkap ikan, analis keamanan mengatakan kedua tetangga telah membangun pasukan maritim mereka, yang terdiri dari angkatan laut, penjaga pantai dan kapal penegak hukum.
Baca Juga: Khusus di Natuna Jepang hibahkan kapal pengawas perikanan
Sebuah laporan oleh kelompok konsultan keamanan yang berpusat di AS, Rand, mengatakan bahwa milisi harus menjadi kekuatan yang harus diperhitungkan di tahun-tahun mendatang.
Dijuluki "pria biru kecil", China telah mengerahkan milisi yang terdiri dari ratusan nelayan dan kapal motor, yang sebagian besar berbasis di provinsi pulau selatan Hainan.
Vietnam telah mengadopsi taktik yang sama untuk secara diam-diam membina milisi kapal penangkap ikan yang didukung negara dengan personel terlatih militer untuk menahan China, bahkan ketika kedua belah pihak berbicara secara resmi tentang meredakan sengketa kedaulatan mereka.
Baca Juga: Tiga kapal pencuri ikan asal Vietnam melawan saat ditangkap, kapal KKP rusak parah
Tetapi sementara China dan Vietnam sama-sama membangun milisi maritim, ketidakseimbangan kekuatan terlihat jelas.
Menurut sebuah artikel yang ditulis oleh Nguyen Khac Giang, peneliti senior di Institut Vietnam untuk Riset Ekonomi dan Kebijakan, China memiliki milisi maritim terbesar di dunia, yang terdiri dari 370.000 kapal tidak bertenaga dan 762.000 kapal bermesin motor, sedangkan Vietnam memiliki hanya sekitar 8.000 kapal.