kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.444.000   1.000   0,07%
  • USD/IDR 15.357   80,00   0,52%
  • IDX 7.823   11,26   0,14%
  • KOMPAS100 1.191   7,04   0,59%
  • LQ45 965   5,78   0,60%
  • ISSI 228   0,98   0,43%
  • IDX30 492   3,47   0,71%
  • IDXHIDIV20 592   2,11   0,36%
  • IDX80 135   0,85   0,63%
  • IDXV30 139   0,34   0,24%
  • IDXQ30 164   0,94   0,57%

Perusahaan Jepang Mulai Meninggalkan Bisnis di China


Senin, 09 September 2024 / 17:32 WIB
Perusahaan Jepang Mulai Meninggalkan Bisnis di China
ILUSTRASI. An employee of the foreign exchange trading company Gaitame.com watches a TV broadcast of U.S. President Donald Trump's speech at a dealing room in Tokyo, Japan November 4, 2020. REUTERS/Kim Kyung-Hoon


Reporter: Avanty Nurdiana | Editor: Avanty Nurdiana

KONTAN.CO.ID - TOKYO. Perusahaan Jepang meninggalkan bisnis di China. Ini menjadi perubahan mencolok setelah bertahun-tahun perusahaan Jepang menjadi investor tunggal di negara tetangga.

Risiko geopolitik dan kekhawatiran atas pertumbuhan China yang melambat membuat perusahaan menilai berinvestasi di China tidak lagi masuk akal bagi. Pada Juli lalu seperti Nippon Steel Corp mengatakan keluar dari usaha patungannya di China. Mitsubishi Motors Corp juga menghentikan operasi lokalnya karena penjualan mobil yang merosot dan peralihan China ke kendaraan listrik.

Hampir setengah dari perusahaan Jepang di China yang disurvei Bloomberg baru-baru ini mengatakan mereka tidak akan mengeluarkan lebih banyak investasi atau akan memangkas investasi tahun ini. Perusahaan menyebutkan kenaikan upah, penurunan harga, dan masalah geopolitik jadi kendala terbesar yang mereka hadapi.

Baca Juga: PLN Gandeng PT Utomo Charge+ dan ACME Corporaten Perbanyak Charging Station EV

"Kami sekarang telah melewati puncak keterlibatan ekonomi Jepang dengan China," kata Robert Ward, Direktur Geoekonomi dan Strategi Institut Internasional untuk Studi Strategis di London dikutip Bloomberg. Menurut Ward, rintangan perusahaan yang berada di China saat ini berkisar dari persaingan teknologi AS-China hingga meningkatnya ketegangan di Selat Taiwan. Menurut dia faktor geopolitik merupakan faktor penting yang mengubah sikap perusahaan Jepang. 

Perpecahan yang terjadi secara perlahan mengancam ikatan ekonomi yang telah terjalin selama lebih dari empat dekade. Di saat Jepang mulai memberikan bantuan pembangunan triliunan yen ke China melalui pinjaman berbunga rendah. Perdagangan telah menjadi pilar hubungan yang sebelumnya penuh pertikaian antara kedua raksasa Asia tersebut yang membuat muncul slogan bisnis panas, politik dingin.

Kali ini, hawa dingin geopolitik terbukti sulit dibendung.

Penanaman modal asing langsung alias foreign direct investment (FDI) berada di jalur stagnasi mendekati level terendah selama beberapa tahun di 2023. Sebelumnya volume penanaman modal asing pada kuartal pertama turun ke level terendah sejak tahun 2016. Ini merupakan perubahan haluan bagi perusahaan-perusahaan Jepang yang telah membangun FDI hampir US$ 130 miliar di China hingga akhir tahun lalu.

Stagnasi FDI merupakan hal baru dari hubungan bilateral sebelumnya. Sebab di tahun 2010-2012, ketika sengketa wilayah antara kedua belah yang memanas dan China memblokir sementara pengiriman tanah jarang ke Jepang, perusahaan-perusahaan di Jepang masih meningkatkan investasi secara rata-rata 13% setiap tahun.

Baca Juga: Kompak, Rupiah Jisdor Melemah 0,48% ke Rp 15.446 per Dolar AS Pada Senin (9/9)

Menurut seorang pejabat Jepang dikutip Bloomberg, China tampaknya khawatir dengan penurunan tersebut dan berusaha menarik bisnis Jepang untuk berinvestasi lebih banyak. Latar belakang politik juga lebih tidak bersahabat. Bulan lalu, pesawat militer China menyusup ke wilayah udara Jepang untuk pertama kalinya. Insiden ini ditandai masuknya sebuah kapal angkatan laut China ke perairan teritorial Jepang.

Terlebih lagi, muncul ancaman terhadap kesejahteraan orang Jepang di dalam negeri.

Seorang wanita Jepang dan anaknya di Suzhou di China pada Juni diserang dengan pisau. Sementara pemerintah China menyebut sebagai insiden terisolasi dan menimbulkan kekhawatiran di seluruh orang Jepang di China. Orang Jepang meningkatkan keamanan di sekolah-sekolah di seluruh negeri. 

Menurut pernyataan dari juru bicara kedutaan, Jepang masih meminta pihak berwenang di Suzhou memberikan informasi terperinci tentang insiden tersebut.

Penahanan seorang eksekutif farmasi Jepang awal tahun lalu juga memicu kekhawatiran publik tentang keselamatan warga negara Jepang di China. Pria itu didakwa atas tuduhan spionase awal bulan ini.

Perusahaan-perusahaan Jepang juga terjebak dalam ketegangan geopolitik dengan AS yang menekan Jepang memperketat ekspor pada ekspor teknologi tinggi untuk sektor semikonduktor. China akan membalas jika itu terjadi.

Sementara beberapa perusahaan Jepang menyebut China sebagai ancaman, bukan peluang. Kepala salah satu perusahaan perdagangan terbesar di Jepang bahkan telah meminta bantuan pemerintah untuk membantu bisnis untuk bersaing di Asia Tenggara, tempat di mana perusahaan China seperti BYD Co membuat terobosan dengan cepat.

Baca Juga: J Trust Bank Dukung Akulturasi Budaya Indonesia-Jepang di Bon Odori & Yosakoi Matsuri

Bagi Nippon Steel rencananya membeli US Steel Corp dikecam oleh AS karena investasinya di China. Rencana akuisisi bahkan disebut sebagai ancaman keamanan nasional.

Mencari ke Tempat Lain

Seiring dengan bergesernya fokus perusahaan Jepang ke tempat lain di Asia dan sekitarnya, kondisi ekonomi China yang memang tengah meredup juga menjadi salah satu penyebabnya. Dari 1.760 perusahaan dalam survei oleh Kamar Dagang dan Industri Jepang di China, 60% mengatakan ekonomi saat ini lebih buruk daripada tahun lalu.

China bagi eksportir Jepang tidak sama seperti tahun-tahun sebelumnya, karena perusahaan harus beradaptasi dengan tarif AS dan perubahan lainnya termasuk insentif dari Jepang untuk memindahkan pabrik dari China. Nilai ekspor Jepang ke China berkontribusi 18% pada tahun lalu terendah sejak 2015. Nilai ekspor Jepang ke China turun hampir 7% dibandingkan ke AS dan Uni Eropa. Akibatnya, AS menyalip China sebagai tujuan pasar ekspor terbesar Jepang untuk pertama kalinya dalam empat tahun.

Pembuat ekskavator dan peralatan berat Komatsu misalnya menjual jauh lebih sedikit ke China karena ekonomi melambat, konstruksi merosot, dan persaingan semakin ketat. Pendapatan Komatsu di China untuk peralatan konstruksi dan pertambangan anjlok 57% pada tahun lalu dari puncaknya di 2019 yang pendapatannya naik 46% secara global selama periode yang sama.

Pada tahun lalu, ada sekitar 31.000 perusahaan Jepang di China yang menurut Kementerian Luar Negeri Jepang turun sekitar sepersepuluh dari 2020. Selama periode yang sama, sekitar 4.000 perusahaan mendirikan kantor di tempat lain di dunia. "Saat ini, perusahaan sedang merestrukturisasi bisnis mereka untuk menghentikan kerugian," kata Masami Miyashita, manajer umum Asosiasi Ekonomi Jepang-Tiongkok di Beijing. Dia menyebut ini bukan saatnya berinvestasi.

Baca Juga: Coach STY: Mees dan Eliano Mungkin Debut Timnas Bulan November

Pada konferensi baru-baru ini kota pelabuhan China, Qingdao juga mencoba menarik perusahaan asing. Namun tak satu pun dari setengah lusin eksekutif senior Jepang yang berbicara kepada Bloomberg berencana memperluas investasi. Mereka juga tidak terlalu optimistis terhadap ekonomi tahun ini atau tahun depan.

Namun, tidak semua perusahaan Jepang mundur. Panasonic Holdings Corp masih akan menginvestasikan lebih dari ¥ 50 miliar setara dengan US$ 350 juta. Sejak awal tahun lalu, Panasonic telah membangun pabrik peralatan baru, menurut surat kabar Nikkei. Sementara Kobe Steel Ltd baru-baru ini mengumumkan akan membentuk usaha patungan dengan sebuah perusahaan di China. 

"Perusahaan China juga menjadi lebih kompetitif dan pertikaian geopolitik antara AS dan China membuat perusahaan Jepang takut untuk berinvestasi di beberapa sektor, seperti semikonduktor dan teknologi baru," kata Kazuto Suzuki, profesor ekonomi politik global di Universitas Tokyo.

Perusahaan Jepang juga tidak melihat pemulihan ekonomi China secara langsung. Jadi tidak masuk akal untuk meningkatkan investasi. "Faktor-faktor lain, seperti kekhawatiran geoekonomi dan kurangnya transparansi akan mempersulit investasi dalam skala besar seperti yang biasa mereka lakukan," pendapat Suzuki. 

Baca Juga: Lesu, Rupiah Spot Lanjut Melemah Rp 15.443 Per Dolar AS Pada Tengah Hari Ini (9/9)




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management Principles (SCMP) Mastering Management and Strategic Leadership (MiniMBA 2024)

[X]
×