Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - NEW YORK. Pandemi Covid-19 telah mendorong berbagai perusahaan menggunakan sebagian tumpukan uang tunai. Hal ini akan mendorong utang bersih perusahaan global meningkat sebanyak US$ 600 miliar tahun ini, menurut riset dari Manajer Aset Janus Henderson.
Perusahaan mencatat rekor pinjaman hingga US$ 1,3 triliun tahun lalu dengan pendekatan kehati-hatian dalam penggunaannya. Akibatnya, total utang naik 10,2% ke rekor US$ 13,5 triliun untuk tahun keuangan 2020. Sementara utang bersih yang dihitung sebagai total utang dikurangi uang tunai hanya naik sedikit menjadi US$ 8,3 triliun, mengutip Reuters, Rabu (7/7).
Dengan pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung, perusahaan berharap bakal ada peningkatan secara berkelanjutan terhadap belanja modal secara signifikan, pembayaran dividen dan buyback saham pada paruh kedua tahun ini. Royalti yang diantisipasi itu akan melihat utang bersih korporasi global meningkat sebesar US$ 500 hingga $ 600 miliar menjadi US$ 8,8 triliun sampai US$8,9 triliun di penghujung 2021.
Baca Juga: Direktur Surat Utang Negara: Beban Utang Masih akan Meningkat
Namun Janus Henderson mengatakan akan terjadi perbaikan kualitas kredit seiring pemulihan ekonomi dan kebijakan moneter yang mendukung. Meskipun prospek inflasi yang lebih tinggi. Hal ini menawarkan peluang investasi di masa mendatang.
"Prospek pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan inflasi yang meningkat. Berarti bakal ada memperbaiki fundamental kredit, arus kas yang lebih baik, rasio leverage yang lebih baik," kata manajer portofolio pendapatan tetap Tom Ross dan Seth Meyer.
Ia menambahkan, utang telah meningkat, tetapi uang tunai telah melonjak, pasar terbuka lebar, dan arus kas bebas semakin cepat. Hal ini menjadi agin segar bagi korporasi.
Lebih jauh terdapat perusahaan yang kehilangan peringkat tingkat investasi mereka selama pandemi, terutama perusahaan makanan dan minuman, seperti Kraft. Begitupun beberapa pabrikan mobil, seperti Ford.
Riset itu juga memperkirakan bahwa tingkat default akan tetap rendah, mungkin di bawah 1% dan hanya naik sedikit pada tahun 2022. Meskipun mereka menyoroti sektor-sektor seperti maskapai penerbangan dan rekreasi sebagai sektor yang rentan.













