Reporter: Ragil Nugroho | Editor: Test Test
Awalnya, banyak pihak yang meragukan kemampuan Samuel Robson Walton sebagai penerus Wal-Mart, lantaran hanya berbekal sekolah bisnis dan pengetahuan dari teori buku. Tapi, ia menjawab keraguan itu dengan bekerja keras. Dia melahirkan ide-ide segar untuk raksasa ritel yang ketika itu sedang mempertahankan pangsa pasarnya di tengah peritel baru yang bermunculan. Sejak itulah, kemampuannya menangani Wal-Mart diakui banyak orang.
Sebagai seorang anak pengusaha sukses, hal yang lumrah kalau kemudian Samuel Robson Watson memiliki keinginan meneruskan bisnis sang ayah. Oleh karena itu, seusai menamatkan sekolah menengah atas (SMA), ia memutuskan untuk meneruskan pendidikan ke University of Arkansas jurusan Administrasi Bisnis. Ia terus berkutat di bangku kuliah hingga menyabet gelar doktor pada tahun 1976.
Selama kuliah, Robson terkenal sebagai mahasiswa yang aktif mengikuti bermacam kegiatan. Mulai kegiatan sosial, budaya, hingga politik. Namun, ia mengaku kegiatan yang bersinggungan dengan politik jauh lebih memikat hatinya. Dia banyak mengikuti seminar-seminar khususnya yang mengkritisi kebijakan Presiden John F. Kennedy dan Lyndon B. Johnson di bidang ekonomi.
Menurut Robson, kedua presiden Amerika Serikat yang berasal dari Partai Demokrat itu terlalu lemah dalam kebijakan ekonomi. Sehingga, mengakibatkan tingginya angka inflasi di Negeri Paman Sam pada dekade 1960.
Selain menghabiskan waktu mengikuti kegiatan-kegiatan di luar kampus, ia juga bersama rekannya aktif bekerja di sebuah firma hukum. Robson yakin pengetahuannya di bidang hukum akan sangat menunjang studi ekonominya di masa depan.
Saat lulus kuliah pada 1976, Robson telah tumbuh menjadi calon pebisnis dengan kemampuan komplet. Namun, tetap saja, ketika pertama kali bergabung bersama Wal-Mart, banyak kalangan yang meragukan kemampuannya.
Mereka menganggap Robson sebagai seorang lulusan sekolah bisnis yang cuma bermodal teori, sehingga akan sulit menghadapi kondisi nyata. "Saat itu, orang-orang menganggap saya terlalu bertindak berdasarkan teori dan tidak akan bisa menggantikan posisi ayah," kenangnya.
Tapi, semua keraguan publik itu justru membuat Robson semakin tertantang untuk membuktikan bahwa anggapan publik salah. Selama bergabung dengan Wal-Mart, ia bisa menunjukkan kemampuannya sebagai calon pemimpin kerajaan bisnis yang andal. Dia juga berani mengkritik kebijakan-kebijakan perusahaan yang tidak sesuai dan merekomendasikan ide-ide segar.
Pada dekade 1970, banyak tumbuh peritel di Amerika Serikat yang membuat persaingan makin panas dalam memperebutkan pasar. Di saat yang sama, Wal-Mart diterpa banyak tuduhan miring.
Ketika itu beberapa kelompok masyarakat, LSM hak perempuan, dan persatuan buruh mengkritik Wal-Mart. Mereka memprotes soal banyaknya produk-produk yang berasal dari luar negeri, rendahnya tingkat pendaftaran asuransi kesehatan karyawan, penolakan perwakilan buruh, serta diskriminasi gender.
Robson yang kala itu menjabat anggota Dewan Sekretaris Jenderal mengusulkan agar Wal-Mart memperhatikan tuntutan pekerja. Perhitungannya saat itu, citra perusahaan harus lebih diutamakan ketimbang menghitung angka pengeluaran perusahaan. Apalagi, "Saat itu, pesaing sedang tumbuh menjamur," ujarnya.
Ternyata, usulan Robson itu menghasilkan respon yang sangat baik. Wal-Mart tetap berkibar sebagai peritel nomor satu di Amerika Serikat. Ia juga membuktikan bahwa sebuah kebijakan yang lahir dari perpaduan antara idealisme dan realisme bisa diterapkan.
Perlahan tapi pasti, kapasitasnya sebagai elemen penting dalam perjalanan Wal-Mart mulai diakui. Ide-idenya dipandang mampu mewarnai dan memperkaya strategi bisnis Wal-Mart. Menurut Robson, tantangan ekonomi dan bisnis di masa depan tidak akan jauh dari yang pernah terjadi sebelumnya. "Jadi, kita bisa memprediksi, tentu dengan kadar yang berbeda," ujarnya.
(Bersambung)