Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - MELBOURNE. Perusahaan tambang diversifikasi asal Australia, South32 Ltd, menyatakan masih memantau perkembangan industri alumina di Indonesia untuk melihat apakah langkah hilirisasi pemerintah dapat memicu gejolak harga global seperti yang terjadi pada nikel.
CEO South32, Graham Kerr, mengatakan Indonesia berhasil menjadi pemasok nikel terbesar dunia setelah mendorong produksi berbiaya rendah dalam beberapa tahun terakhir.
Baca Juga: Pemerintah Percepat Hilirisasi Bauksit, ANTAM dan BAI Jadi Motor Produksi Alumina
Strategi ini membuat sejumlah produsen di wilayah lain seperti Kaledonia Baru dan Australia terdesak hingga gulung tikar.
Kini, pemerintah Indonesia berupaya mereplikasi kesuksesan tersebut pada sektor lain, termasuk alumina.
Tahun lalu, Indonesia resmi menjadi net exporter alumina, produk setengah jadi hasil olahan bauksit yang kemudian diproses menjadi aluminium.
“Tantangan bagi kami adalah apakah mereka bisa melakukan di alumina apa yang mereka lakukan di nikel,” ujar Kerr dalam paparan analis, Kamis (28/8/2025).
Meski begitu, Kerr menilai ada keterbatasan. Tidak seperti nikel, industri alumina sulit mengandalkan pengembangan kawasan industri berskala besar karena proses pengolahannya menghasilkan limbah yang disebut red mud, yang harus dikelola dengan hati-hati.
Baca Juga: Jadi Investor Smelter Alumina Bareng Glencore, Indika (INDY) Masuk ke IPO Nanshan
“Jadi menurut saya ada kompleksitas tertentu yang akan membatasi skala pengembangan alumina di Indonesia,” tambahnya.
South32 sendiri melaporkan lonjakan laba bersih 75% pada tahun buku terakhir, ditopang oleh kinerja kuat divisi alumina serta harga komoditas yang lebih tinggi.