kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.901.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.541   37,00   0,22%
  • IDX 7.538   53,43   0,71%
  • KOMPAS100 1.059   10,21   0,97%
  • LQ45 797   6,35   0,80%
  • ISSI 256   2,43   0,96%
  • IDX30 412   3,30   0,81%
  • IDXHIDIV20 468   1,72   0,37%
  • IDX80 120   1,05   0,88%
  • IDXV30 122   -0,41   -0,34%
  • IDXQ30 131   0,79   0,61%

Tarif 19% dari AS Disambut Lega, Asia Tenggara Lolos dari Gempuran Penuh Trump


Jumat, 01 Agustus 2025 / 15:54 WIB
Tarif 19% dari AS Disambut Lega, Asia Tenggara Lolos dari Gempuran Penuh Trump
ILUSTRASI. Negara-negara Asia Tenggara menarik napas lega setelah Amerika Serikat (AS) akhirnya menetapkan tarif baru sebesar 19% atas ekspor kawasan tersebut, jauh lebih rendah dibanding ancaman sebelumnya, dan relatif merata di antara ekonomi terbesar kawasan. REUTERS/Dado Ruvic/Illustration


Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - BANGKOK/KUALA LUMPUR. Negara-negara Asia Tenggara menarik napas lega setelah Amerika Serikat (AS) akhirnya menetapkan tarif baru sebesar 19% atas ekspor kawasan tersebut, jauh lebih rendah dibanding ancaman sebelumnya, dan relatif merata di antara ekonomi terbesar kawasan.

Presiden AS Donald Trump sebelumnya mengguncang negara-negara eksportir seperti Thailand, Malaysia, Filipina, Indonesia, dan Kamboja dengan ancaman tarif hingga 49%.

Baca Juga: Apindo Ingin Sawit hingga Rempah RI Bebas Tarif Tinggi di AS

Namun pada Jumat (1/8/2025), Washington menetapkan tarif 19% secara seragam, mengikuti Vietnam yang sudah lebih dulu dikenakan tarif 20% sejak Juli lalu.

Kawasan Asia Tenggara, dengan nilai ekonomi gabungan lebih dari US$ 3,8 triliun, merupakan bagian penting dalam rantai pasok global dan sangat bergantung pada ekspor. Banyak negara di kawasan ini menikmati limpahan investasi dan pesanan sebagai imbas dari pergeseran rantai pasok dari China.

Kemenangan Diplomasi?

Malaysia menyebut keputusan AS sebagai “hasil positif” karena tarif diturunkan dari ancaman 25% tanpa mengorbankan komoditas yang tergolong “garis merah”.

Thailand bahkan mendapat pengurangan lebih besar, dari 36% menjadi 19%.

“Ini menjaga daya saing Thailand di pasar global, meningkatkan kepercayaan investor, dan membuka peluang pertumbuhan ekonomi,” ujar Menteri Keuangan Thailand Pichai Chunhavajira.

Baca Juga: Tarif Ekspor ke AS Masih Tinggi, Apindo Desak Reformasi Iklim Usaha Domestik

Sementara itu, Kamboja menjadi salah satu penerima manfaat terbesar. Tarif produk garmen mereka turun drastis dari 36%-49% menjadi 19%.

“Kalau tarif tetap tinggi, industri kami bisa kolaps,” kata Wakil Perdana Menteri Kamboja Sun Chanthol.

Jaga Status Quo, Hindari Perang Harga

Pelaku industri di kawasan menyambut positif pengenaan tarif yang seragam karena menjaga keseimbangan persaingan antarnegara.

“Kami senang karena sekarang setara dengan Indonesia dan Filipina, dan bahkan lebih rendah dari Vietnam,” kata Werachai Lertluckpreecha dari Star Microelectronics di Thailand.

Presiden Asosiasi Industri Semikonduktor Malaysia, Wong Siew Hai, menyebut keputusan ini sebagai sinyal positif.

“Untuk saat ini, ini seperti status quo. Perusahaan tidak perlu buru-buru pindah strategi,” katanya.

Baca Juga: Trump Ancam Naikkan Tarif Dagang terhadap Kanada Imbas Sikap Pro-Palestina

Transshipment Masih Jadi Sorotan

Namun, masih banyak hal yang perlu dinegosiasikan, seperti hambatan non-tarif, aturan asal barang (rules of origin), hingga definisi “transshipment” yang digunakan untuk menghindari tarif tinggi atas barang asal China.

Vietnam, yang mencatat surplus perdagangan lebih dari US$ 120 miliar dengan AS tahun lalu, masih dibayang-bayangi risiko penerapan tarif 40% jika terbukti menjadi jalur pengalihan barang dari China.

“Ini masalah sesungguhnya. Banyak industri di Vietnam masih sangat bergantung pada bahan baku dari China,” kata seorang pelaku usaha di Vietnam yang enggan disebutkan namanya.

Baca Juga: Gedung Putih Merilis Detail Lanskap Perdagangan Global, Kanada Kena Hantam Tarif 35%

Kemenangan Setengah?

Andrew Sheng dari Asia Global Institute menyebut keputusan ini sebagai manuver khas Trump.

“Banyak ancaman, lalu dengan satu pengumuman, semua pihak merasa telah mendapatkan kesepakatan yang masuk akal,” kata dia.

Selanjutnya: Syarat dan Cara Membuat QRIS BRI untuk Merchant UMKM dan Pedagang

Menarik Dibaca: 3 Alasan Jangan Minum Teh Setelah Makan, Apa Sajakah Itu?




TERBARU

[X]
×