Sumber: Reuters | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketakutan akan kehilangan pekerjaan kini menyelimuti kawasan industri garmen di Bangladesh.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump resmi menetapkan tarif impor sebesar 35% atas produk asal Bangladesh mulai 1 Agustus, keputusan yang memicu kekhawatiran luas akan pemutusan hubungan kerja massal dan terganggunya roda perekonomian negara.
Industri Garmen: Tulang Punggung Ekonomi Bangladesh
Industri pakaian jadi atau readymade garments (RMG) adalah sektor ekspor terbesar Bangladesh, menyumbang lebih dari 80% total ekspor nasional dan mempekerjakan sekitar 4 juta orang, mayoritas perempuan. Industri ini juga berkontribusi hampir 10% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tahunan negara.
Baca Juga: Trump Kritik Putin: Terus Beri Omong Kosong soal Perang Ukraina
Namun, kebijakan tarif baru dari AS—yang merupakan pasar ekspor utama Bangladesh—telah menciptakan ketidakpastian besar.
"Setiap hari saya takut kehilangan pekerjaan," kata Raimoni Bala, 32 tahun, operator mesin jahit industri di Ashulia, pinggiran kota Dhaka.
"Ketika ada orang luar datang ke pabrik, dada saya berdebar. Rasanya mereka akan menyampaikan bahwa saya sudah tak dibutuhkan," tambahnya.
Dampak Langsung: Pemesanan Anjlok, Ketidakpastian Meningkat
Berdasarkan wawancara Reuters dengan lebih dari selusin pekerja pabrik garmen, kekhawatiran akan PHK massal, pembatalan pesanan, dan penutupan pabrik semakin nyata.
Banyak merek internasional besar seperti Gap Inc dan VF Corporation (induk merek Vans) mulai menunda pemesanan baru dan memilih untuk menunggu perkembangan lebih lanjut dari negosiasi perdagangan.
“Kenaikan tarif ini akan sangat membebani produsen garmen dan jutaan pekerja, sebagian besar perempuan. Ini meningkatkan risiko perlambatan ekonomi, kehilangan pekerjaan, dan kemiskinan yang makin meluas,” jelas Prof. Selim Raihan, ekonom dari Universitas Dhaka.
Baca Juga: Kebijakan Tarif Trump 32% Bisa Picu PHK hingga 1,2 Juta Orang
Kebijakan Tarif Diskriminatif?
Sementara Bangladesh dikenakan tarif 35% (turun dari pengumuman awal 37%), negara kompetitor seperti Vietnam hanya dikenakan 20%, sementara India dan Sri Lanka masih menunggu kepastian tarif. Perbedaan ini membuat produk garmen Bangladesh lebih mahal secara relatif, memperkecil daya saing di pasar AS.
Pemerintah Bangladesh dan Perwakilan Dagang AS dijadwalkan memulai putaran kedua negosiasi perdagangan pada Rabu, namun banyak yang menilai waktu kian sempit dan tekanan dari industri sudah sangat tinggi.
Cerita Bala: Simbol Jutaan Perjuangan
Raimoni Bala mewakili jutaan pekerja migran dari desa ke kota. Ia pindah dari kampung halamannya di utara Bangladesh demi memberikan masa depan lebih baik bagi dua putranya yang kini berusia 15 dan 13 tahun.
Baca Juga: Negosiasi Tarif Trump 32%, Indonesia Bakal Beli Produk Pertanian dan Energi dari AS
Suaminya hanya bisa bekerja serabutan karena masalah kesehatan, menjadikan pendapatan Bala dari pabrik sebagai sumber utama nafkah keluarga.
“Saat pandemi, pabrik ditutup. Saya masih dapat upah dari program bantuan pemerintah, tapi hampir saja kami tidak makan,” kenangnya.
Kini, setiap kabar soal tarif baru atau pemesanan yang menurun kembali membangkitkan trauma kehilangan pekerjaan.
“Selama saya masih punya pekerjaan ini, anak-anak saya bisa bermimpi,” ujarnya lirih.
“Tanpa pekerjaan ini, saya tidak tahu akan jadi apa kami,” katanya.